PERTANGGUNGJAWABAN IMAN KRISTEN BERNEGARA & BERPOLITIK
Yakub B. Susabda
Makalah ini diambil dari ceramah beliau untuk PIKI Jatim, Mei 1993.
Keterlibatan umat Kristen di masyarakat, baik itu dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dsb, sangat ditentukan oleh pemahaman teologis atas "hal keterlibatan itu sendiri." Ada golongan Kristen yang menganggap bahwa keterlibatan langsung dalam masalah-masalah politik dan sebagainya bukanlah panggilan Kristen, tetapi ada pula yang berpendapat bahwa tanpa keterlibatan langsung, umat Kristen tidak mungkin menghadirkan kerajaan Allah di bumi.
Menurut pengamatan penulis, sikap Kristen dalam hal ini dapat dibagi dalam dua golongan besar, yaitu :
a. Golongan kaum " Neo - Reformed ".
Kaum Neo-Reformed yang Calvinistis ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran teologi dari Karl Barth, D. Bonhoeffer, Emil Brunner, Reinhold Nielbuhr, G.C. Berkouwer dan Herman Dooyeweerd. Mereka percaya bahwa "tanggung jawab kristen di dunia adalah merealisasikan keadilan dan kebenaran, dan untuk itu umat kristen harus berpartisipasi secara aktif dalam percaturan politik."
Keterlibatan umat Kristen dalam masalah politik dan sosial adalah jawaban atas panggilan Allah untuk menghadirkan kerajaan Allah di bumi. Memang mereka sadar bahwa kerajaan Allah yang sempurna tak mungkin dapat terealisasikan dalam kehidupan ini. Oleh sebab itu umat kristen harus realistis. Di tengah kehidupan manusia yang sudah dilumuri oleh dosa, setiap sarana untuk menghadirkan keadilan dan kebenaran pasti juga sudah dicemari oleh dosa.
Niebuhr mengatakan,
" Society, permeated by human sin, simply cannot live by pure ideals; thus it must accept the limited possibilities given by political acceptualities. For instance, war is a necessary evil " ( Ricard Quebedeaux, " The wordlyevangelicals, " NY : Harper And Row, 1978, p . 152 ).
Kaum Neo-Reformed percaya nabi-nabi dalam Perjanjian Lama telah memberikan contoh yang begitu gamblang, betapa keterlibatan secara aktif dalam bidang politik dan sosial adalah panggilan umat Allah di bumi ini.
(Catatan) : Pada abad XX ini tokoh - tokoh Neo - Reformed yang menekankan perlunya keterlibatan Kristen di bidang politik antara lain : Richard Mouw ( " Politics and the Biblical Drama" ). Paul Henry ( dari Calvin College,putera tokoh injili Carl Henry ), Stephen Monsma ( Calvin College ), Lewis Smedes dan Paul K. Jewett ( Fuller Theological Seminary ). Pemikiran - pemikiran mereka telah coba diterapkan dalam bidang politik John B. Anderson ( Republican congressman ), Mark Hatfield ( Senator dari Oregon ), Jerry Falwell ( pendeta Baptist dan pendiri Moral Majority ) dan Jimmy Carter ( mantan presiden Amerika ).
b. Golongan Kaum Injil yang " radikal ".
Kaum injil yang tergolong radikal ini percaya bahwa keterlibatan Kristen dalam " percaturan politik jaman ini " adalah hal yang sia - sia, oleh karena tidak ada satu sistem pemerintahan dimanapun juga yang cocok dengan misi kristen di tengah dunia. Kalau kaum " Liberal " (a.1. Neo - Reformed) berharap dapat memakai " What seems possible within the establishment if system, " maka kaum radikal menolak setiap sistem yang ada karena mereka tidak percaya bahwa " the meaningful change can be brought about throught existing structures."
Dengan presaposisi ini, perjuangan kaum radikal adalah mendirikan sistem politik dan kehidupan masyarakat yang sama sekali baru ( tetapi ini berbeda dengan " Utopia " yang lari dari kenyataan ), di mana kehidupan dan hubungan antara umat manusia tidak lagi ditentukan dan diatur oleh sistem politik yang ada sekarang ini, yang ... " sama sekali tidak memungkinkan " peningkatan martabat menusia seutuhnya.
Tanggung jawab Kristen dalam bidang politik adalah menciptakan satu sistem pemerintahan dan kehidupan yang baru di mana keselamatan dalam Kristus dapat dimanifestasikan secara kongkrit dan utuh, di mana umat Kristen dapat menerapkan keadilan, kebenaran dan kasih kepada sesama manusia, di mana martabat manusia dapat diangkat dan dihargai seutuhnya. Mereka percaya bahwa panggilan umat Kristen di dunia adalah untuk menjadi terang dan garam, di mana kehidupan mereka dapat menjadi model bagi kehidupan seluruh umat manusia di muka bumi ini. Sampai sekarang ini "hampir seluruh ajaran Kristus" tidak pernah dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat yang merata oleh karena sistem yang ada.
Oleh sebab itu tugas umat Kristen adalah menciptakan sistem yang baru. Tetapi bagaimana? Pertanyaan "how to" - nya ini merupakan tantangan terbesar bagi kaum radikal.
Ada di antara mereka yang memperjuangkan sistem baru yanglewat " non violent protest demonstrations " ( misal Martin Luther King, Jr ). Adapula yangh mencoba lewat penggalangan massa lewat gerakan gereja dan penginjilan yang besar ( misalnya Billy Graham). Tetapi pada umumnya mereka tidak mau terlibat dengan " Percaturan politik yang ada ".
Seperti yang Arthur G. Gish katakan secara tepat, " Such action, they feel, does not involve compromise, because it does not include operation on the basis of establishment values. " ("The New Left and Cristian Radicalishm," Eerdmans, 1970, p . 42 )
( Catatan ) : Tokoh - tokoh kaum Injili yang radikal, antara lain : John H. Yoder ( teolog Mennonite yang menulis " The Politics of Jesus " ), Jacques Ellul ( Sosiolog dan teolog awam dari Prancis ), William Stringfellow ( teolog awam dari gereja Episkopalian ), Chick Colson ( mantan pembantu presiden R. Nixon dlam skandal Watergate ), dan Daniel and Phillip Berrigan ( iman gereja Katolik). Tahun 1971 mahasiswa - mahasiswa dari Trinity Evangelical Divinity School di Deerfield, di bawah radikalis Jim Wallis mendirikan the people 's Christian Coalition dan memulai penerbitan majalah mereka yang terkenal " Sojourners ". Di samping terbitan dari koalisi ini, kaum radikal juga menawarkan ide - ide mereka melalui periodicals, misalnya " The Other Side ", " Freedom Now ", dan " Cross Wind". Melalui itulah mereka berbicara tentang masalah - masalah politik, sosial, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya tanpa keterlibatan langsung dengan salah satu sistem politik yang ada.
--------------------------------------------------------------------------------
DIMANA KITA DAN APA YANG DAPAT KITA LAKUKAN ?
--------------------------------------------------------------------------------
Pergumulan dari saudara - saudara seiman kita di Amerika memberikan suatu pelajaran yang sangat berfaedah. Tentu situasi dan kondisinya sangat berbeda, tetapi prinsip - prinsip pergumulannya sama, yaitu pergumulan untuk merealisasikan " pertanggung - jawaban Kristen di tengah dunia. " Sebagai umat tebusan Allah, kita terpanggil untuk merealisasikan kehadiran kerajaan Allah di muka bumi di mana damai, kesejahteraan, keadilan dan cinta kasih dapat dialami semua bangsa. Kita punya " ideal ", bahkan kita punya " usulan " bagaimana atau melalui sarana sistem pemerintahan yang seperti apakah " ideal " tersebut dapat diwujudkan. Tetapi kenyataannya kita sendiri. Kita bukanlah " penentu tunggal. " Kita ditempatkan Allah di bumi Indonesia di mana sebagai umat Kristen kita adalah " anak dengan beberapa saudara sekandung ". Kita harus hidup bersama, memikirkan bersama, bahkan bekerja sama dengan saudara - saudara sekandung kita mewujudkan tujuan cita - sita bersama. " ideal " kita c
Belajar dari pengalaman saudara-saudara seiman di Amerika, kita menyadari betapa "kebijaksanaan" umat Kristen selama ini tidak menghasilkan hal-hal yang memadai. Baik kaum Neo-Reformed maupun kaum Radikal keduanya tidak berhasil merealisasikan kehadiran kerajaan Allah di muaka bumi. Ketidakadilan makin merajalela dan manusia makin kehilangan kemanusiaannya. Kemenangan Kristus makin tidak dikenali sehingga damai, kesejahteraan, cinta kasih menjadi semakin asing dari kehidupan umat manusia. Bagaimana Indonesia ? Bagaimana merealisasikan pertanggung-jawaban iman kristen di bumi tercinta ini ?
Melalui kesempatan ini penulis menawarkan suatu proposal. Dari kacamata seorang rohaniawan penulis melihat bahwa :
I. Pertanggung - Jawaban iman kristen harus mulai dari satu premis dasar yaitu " All Truth is God's Truth ".
Dalam pidatonya di muka sidang Majelis Lengkap PGI di hotel panghegar Bandung, Pdt. Eka Darma putera mengingatkan akan bahaya jikalau agama memakai klaim kemutlakan kebenaran untuk masuk ke dalam daerah yang bukan wewenangnya, yaitu negara. Negara punya wilayah kewenangannya sendiri, agama juga mempunyai wilayah kewenangan sendiri ( Kompas, 13 Maret 1993 ).
Ide tersebut bukanlah suatu ide yang baru. Tetapi heran sekali, di tengah perjalanan sejarah yang tidak selalu sesuai dengan kemauan kita, ide tersebut sering terlupakan begitu saja. Agama bisa tergoda untuk memasuki daerah yang bukan wilayah kewenangannya untuk menciptakan suatu " negara agama ". Negara yang semata - mata hanyalah alat dari suatu agama. Ini suatu skandal. Karena dengan demikian, negara akan kehilangan fungsinya sebagai negara yang melindungi hak azasi dan " kebebasan tumbuh " tiap individu. Agama Kristen kalaupun ada kesempatannya ( puji tuhan, tidak ada ), tidak boleh memasuki wilayah kewenangan negara. Mengapa demikian ? Dan lalu bagaimana pertanggung-jawaban iman kristen dalam bernegara, dalam berpolitik ? Untuk menjawab ini perlu kita pahami premis dasar kita bahwa " All truth is God's truth".
Bicara mengenai kebenaran / truth, kita mengakui bahwa kristen mengenal 2 macam truth / kebenaran yaitu :
a. Revealed Truth atau kebenaran yang disingkapkan Allah secara khusus untuk menyatakan rencana keselamatan-Nya didalam Kristus Yesus. Kebenaran ini merupakan suatu kebenaran yang intoleran. Ini masalah iman. Umat kristen tidak mungkin bisa berdialog dengan umat beragama " yang lain " melalui atau dengan kebenaran ini.
Penghayatan akan " Revealed Truth " sering kali dimanivestasikan oleh umat Kristen dalam bentuk simbol - simbol agama, doktrin - doktrin, tradisi - tradisi. Hubungan antara umat kristen dengan " Revealed Truth " membentuk suatu dunia eksklusif yang tertutup terhadap " pemahaman orang lain ". Oleh sebab itu berbicara mengenai tanggung jawab umat kristen dalam bernegara dan berpolitik, kita harus menyadari bahwa kita bukan berbicara tentang " bagaimana membuat Revealed Truth yang kita yakin itu dapat di terima oleh oleh orang - orang lain. " Tanggung jawab kristen dalam bernegara bukanlah usaha " kristenisasi. " Kita tidak terpanggil untuk mendirikan " negara gereja ".
b. Discovered Truth atau kebenaran yang diijinkan bahkan disediakan Allah untuk ditemukan oleh umat manusia. Discovered Truth meliputi semua kebenaran di luar "Releaved Truth" yang disediakan Allah untuk di temukan dan di manfaatkan dalam kehidupa umat manusia. Itu termasuk kebenaran dalam ilmu politik, ilmu hukum, ilmu sosial, ilmu kedokteran, ilmu jiwa, ilmu pendidikan, dan sebagainya.
Kita percaya bahwa all truth is God's truth. Semua kebenaran ( kalau benar - benar kebenaran ) adalah kebenaran yang sumbernya satu yaitu Allah. Oleh sebab itu "Discovered Truth" merupakan kebenaran yang naturenya toleran. Manusia dengan latar belakang agama apapun juga bisa bertemu dalam suatu pemahaman yang " sama ". Manusia tidak perlu membawa panji - panji agama dalam arena " Discovered Truth ". Bahkan panji - panji simbol, doktrin dan tradisi suatu agama akan " selalu " menghambat proses pencarian, penemuan dan penerapan suatu " Discovered Truth ". Sebagai kebenaran yang naturenya untuk dieprsembahkan bagi kebaikan umat manusia, " Discovered Truth " seringkali mengalami pencemaran / kontaminasi. Dan pencemaran itu terjadi oleh karena manusia sering kali mencoba memberi soimbol - simbol agama pada " Discovered Truth ". Seolah-olah misalnya, ada ilmu politik Kristen di mana gereja dan simbol-simbol identitas yang unik ( keselamatan, kebaktian, doa, pengabaran Injil, dan sebagainy
Pencemaran yang intinya adalah kegagalan di dalam integrasi antara " Revealed Truth dan Discovered Truth ini harus dapat diatasi. Allah di dalam Yesus kristus yang menjadi sumber dari " Revealed Truth " adalah Allah yang sama yang menjadi sumber dari setiap " Discovered Truth " yang ditemukan oleh umat manusia. Meskipun demikian tidak berarti respon kita terhadap " Discovered Truth " harus sama dengan respon kita terhadap " Revealed Truth ". Kita tidak perlu memberi simbol - simbol agama kepada " Discovered Truth "." Discovered Truth " adalah arena yang terbuka dimana setiap " Revealed Truth " memperoleh konfirmasinya. Setiap agama boleh mengklaim kemutlakan " Revealed Truth " mereka masing - masing, tetapi begitu mereka memasuki arena " Discovered Truth " mereka harus berani meninggalkan klaim tersebut, karena dalam arena " Discovered Truth " tidak ada tempat bagi kalim apapun juga. Tidak ada tempat lagi " spirit menang - menangan ". Yang ada hanyalah " Realita " bahwa dirinya sedan
( Catatan : " Discovered Truth " tidak lebih tinggi dari "Revealed Truth". Tapi klaim kita akan keabsolutan " Revealed Truth " hanya bisa dipahami oleh orang lain melalui pertanggung-jawaban moral dalam " Discovered Truth ". Moral itupun standartnya dari " Revealed Truth " yaitu Alkitab. " Revealed Truth " dalam makalah ini ditujukan hanya untuk menunjuk kepada Alkitab, meskipun agama lain berhak mengklaim keabsolutan " Revealed Truth "-nya.)
II. Pertanggung - jawaban iman kristen adalah soal " kehidupan yang seutuhnya " dan bukan soal " agama " dalam orientasinya yang tradisionil.
Pada saat kita berbicara tentang pertanggung - jawaban iman kristen, kita harus menyadari bahwa kita tidak lagi berbicara tentang " agama kristen " dengan orientasinya pada denotasi gereja, ritus - ritus agama, tradisi dan kegiatan - kegiatan pendukungnya. Pertanggung - jawaban iman kristen adalah pertanggung - jawaban kepada Allah dalam masalah " kehidupan dalam pengertian yang seutuhnya." Inilah kesempurnaan karya keselamatan Kristus mewujudkan mewujudkan diri dalam kehidupan manusia yang seutuhnya.
Sayang sekali, sejarah gereja menyaksikan kegagalan - kegagalan umat kristen dalam menghidupi prinsip kebenaran ini. Sejarah keselamatan yang naturenya " linier " telah diubah menjadi " cyclical ", oleh karena umat Allah mengulang kesalahan yang sama terus - menerus. Gereja betul - betul lumpuh. Peranannya di tengah dunia hampir tidak ada sama sekali. Dan ini terjadi bukan oleh karena geraja tidak sadar akan panggilan yang harus dipertanggung - jawabkan di tengah dunia. Ini adalah masalah " sistem ". Sistem yang menjerat, sehingga gereja tidak mampu keluar dari dunianya. Pertanggung -jawaban pelayanan pada anggota tubuhnya sendiripun tidak pernah dapat dilaksanakan dengan baik. Bagaimana mungkin gereja bisa melangkahkan kaik untuk melayani dan bersaksi ditengah dunia ?
Kritik dan sindiran - sindiran yang menyakitkan telah di lontarkan kepada gereja. Dari yang terang - terangan mempermasalahkan gereja dan menyebut gereja sebagai penyebab utama dari kekacauan dunia ( misalnya : perang dunia II ada mengatakan " Church apathy was responsible fir the catastrope of the war ), sampai kepada kaum Eksistensialis yang ignorant yang mengusulkan supaya gereja meninggalkan Allah agama kristen yang " sudah mati ". F. Nietzsche misalnya, mengatakan bahwa agama kristen adalah agama budak, yaitu agama dari orang -orang yang rela memperbudak diri mereka sendiri, mematikan potensi kehidupan mereka sebagai manusia demi untuk menghidupkan Allah mereka. Allah yang tak lain dari pada Allah ciptaan mereka sendiri. Oleh sebab itu dalam tulisannya yang berjudul " The Madman ", Nietzsche menganjurkan,
" Something new must replace God as the medium of traditional values. This would be man, or rather, the " superior man / ubermensch " ( W. Kaufmann, " The Gay Science ", Book 3, 125, NY : Viking, 1974, pp. 181 - 182 ).
Ia yakin bahwa nasib manusia di dunia akan dapat dieprbaiki jikalau orang -orang kristen meninggalkan " Allah " mereka dan memanfaatkan potensi yang mereka miliki sebagai manusia yang ia sebut " the only true source of the good. "
Memang kritik Nietzsche ini di dasarkan pada " ignorance "-nya atas realita kehidupan Tubuh Kristus. Sebagai seorang ateis ia tidak tahu sama sekali apa itu keselamatan di dalam kristus, siapa Allah yang hidup, dan bagaimana realita keselamatan itu terjadi dan dialami dalam kehidupan manusia. Meskipun demikian, kritik itu bukan merupakan kritik yang kosong. Bagi kita kebenaran jritik itu justru nampak pada saat umat kristen berbicara tentang " pertanggung - jawaban iman " di tengah dunia. Benar - benar ada satu kebenaran yang tidak dapat di sangkakali ( meskipun Nietzsche tidak menyadari dengan kesadaran yang sama - Mat 23 : 3 ) bahwa " tanpa keberanian menanggalkan 'Allah agama Kristen' kita tidak pernah akan masuk ke dalam kancah pertanggung - jawaban iman yang seutuhnya.
Pertanggung - jawaban iman pada " Allah yang hidup " bukanlah masalah " pemeliharaan tradisi agama kristen ", tetapi masalah pertanggung - jawaban atas kehidupan yang seutuhnya ". Bukan hanya masalah di gereja, tetapi masalah dalam setiap aspek kehidupan manusia, baik itu masalah bernegara, masalah tanggung jawab dalam bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, pendidikan, kemiskinan, urbanisasi, lingkungan hidup, dan sebagainya. Masalah dalam setiap aspek kehidupan manusia yang seutuhnya.
Pada saat ketetapan Allah dalam aspek-aspek kehidupan manusia tersebut dihancurkan, umat kristen terpanggil untuk mempertanggung-jawabkan iman mereka. Tepatlah yang D. Bonhoeffer gariskan bahwa,
" Ecclesiantical quietism or retreat into a " let - got - handle - it ", attitude. would be tantamount to an irresponsible surrender to the forces of evil and a self escape from the cross of discipleship.
History had to be shaped by the christian, and theis meant that faith had to be inspirited by a desire for freedom and a sense of responsibility. To accept status quo, particularly when the necessities of the life were denied and human rights violates, was an infidelity to the gospel " ( Geffrey B. Kelly, " Liberating Faith ", Minn : Augsbrg Pub. House, 1984, pp . 67 - 68 ).
III. Pertanggung - jawaban iman Kristen : di antara dua kutub yaitu " Determinism " dan " Free - will ".
Setiap agama selalu memiliki jiwa yang mengklaim akan kebenaran mutlak yang tidak terbatas ruang dan waktu dari ajaran agamanya ( Eka, MPL PGI ). Jiwa yang mengandung kekuatan yang besar ini jikalau tidak di sadari akan menjadi suatu " potensi destruktif ", khususnya oleh karena melayani kebutuhan dasar manusia untuk " playing God ". Harry Emerson Fosdick pernah menyingkap realita ini dengan tepat sekali. Ia mengatakan di dalam bukunya yang berjudul " Dear Mr. Brown ".
" there is not a more destructive force on earth than the religious person who condemns others out of a sense of service to God " ( NY : Harper & Row, 1961, p . 170 ).
Sebagai umat kristen kita menyadari akan bahaya ini. Oleh sebab itu, meskipun kita tahu bahwa sikap untuk tidak ' playing God ' bisa menjadi " peluang " bagi yang lain untuk memanfaatkan kesempatan yang ada, kita tetap percaya bahwa pertanggung - jawaban iman kita adalah kepada Tuhan. Tugas kita hanyalah " menanam dan menyiram ", dan kita terpanggil untuk mengambil alih tanggung jawab tersebut.
Sejarah kehidupan umat Allah kadang - kadang berjalan sedemikian rupa, di mana tanpa sadar mereka sudah begitu lama meninggalkan Tuhan. Mereka yang di panggil untuk merealisasikan kehadiran kerajaan Allah di bumi, ternyata tidak berfungsi sama sekali. Oleh sebab itu Alkitab menyaksikan betapa Allah yang memilih dan menguduskan umatNya adalah Allah yang juga bisa menolak dan membuang umatNya. Sepuluh suku Israel lenyap sama sekali di pembuangan Asyur (2 Rj 17 ) dan dua suku yang terakhir yaitu yehuda dan Benyaminpun dibuang ke Babel. Kita bisa membayangkan dan merasakan apa yang ada di dalam hati umat Allah saat itu. Kita bahkan bisa merasa "empathy" dengan raja - raja Yehuda yang begitu marah dan tersinggung pada saat nabi - nabi Tuhan ( Yer 25, 27 - 28, 36 ; Habakuk, dan sebagainya ) mengingat mereka untuk tidak melawan, tidak menggalang kekuatan, tidak memakai cara - cara dunia untuk menyelamatkan kerajaan mereka. Apabila pada saat nabi - nabi Tuhan itu menyuruh mereka bersiap - s
Berada ditengah periode sejarah yang seperti itu betul - betul tidak menyenangkan. Godaan terbesar bagi umat Allah adalah melupakan panggilanNya. Panggilan yang hanya untuk menanam dan menyiram, dan bukan panggilan untuk menentukan pertumbuhan... menentukan nasibnya... menentukan apa yang akan dicapai melalui upaya dan usahanya. Umat Allah harus dapat membedakan antara "determinisme" ( apa yang menjadi penetapan dan tanggung jawab Allah ) dan " free will " ( apa yang menjadi kehendak bebas dan tanggung jawab manusia ). Bagaimana dengan kita?
Berbicara tentang " Determinisme dan Free Will " dalam konteks kehidupan masa kini mengundang beberapa pertanyaan yang pelik, antara lain :
(1) Sampai di mana kita dapat " exercise our freewill "? Apakah artinya menanaman dan menyiram "? Apakah menggalang kesatuan umat kristen tidak termasuk tugas " menanam " ? Apakah membangkitkan semangat pengabdian dan menghidupkan visi panggilan tidak termasuk tugas " menyiram " ?
(2) Apa itu " determinisme " dalam konteks kehidupan jaman ini ? Bukanlah Allah tidak lagi mengirimkan nabi - nabiNya untuk mengatakan " secara kongkrit " kehendakNya ? Bagaimana kita bisa menyimpulkan bahwa kondisi saat ini ( " lemah peran " ) adalah pertanda dari umat Allah tidak berhak memperbaiki perannya dan ikut menentukan nasibnya sendiri ?
(3) Bagaimana hubungan antara " hak dan kesempatan " dan " freewill " ? Bukankah umat kristen di Indonesia tidak menuntut apa yang bukan menjadi " haknya " ? Apakah " Kesempatan " yang masih tersedia saat ini bukan kesempatan yang Allah berikan kepada umatNya ?
(4) Apakah dalam konteks " frewill " kita boleh berusaha menciptakan " balance of power " ? Bukankah bagi umat kristen kekuatan politik di belakang " balance of power " hanyalah sarana untuk menciptakan suasana dialog yang fair "? Bolehkah umat kristen memakai kekuatan politik untuk tujuan yang mulia ini ?
Daftar dari pertanyaan - pertanyaan ini bisa menjadi semakin panjang pada saat kita betul - betul memasuki arena pertanggung - jawaban iman dalam konteks yang sesungguhnya. Pertanggung - jawaban iman Kristen akan terus menerus berada di antara dua kutub " determinasi dan freewill". Berbahagialah orang yang memahami bahwa kedua kutub ini " bukan " suatu dilema. Pertanggung - jawaban kristen adalah pertanggung - jawaban umat Allah yang terus menerus sedang berada " di tengah jalan ". Dengan tepat penulis Ibrani mengingatkan, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang merintangi kita dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan membawa iman kita kepada kesempurnaan." (Ibr 12 : 1 - 2 )
IV. Pertanggung - jawaban iman kristen : di antara dua kutub yaitu " the need for unity/kesatuan " dan " the necessity for Christian purity ".
Pertanggung - jawaban iman akan membawa umat kristen " mau tidak mau " masuk ke dalam arena pergumulan yang serius dengan masalah - masalah kehidupan masyarakat yang seutuhnya. Untuk itu Carl Henry pernah mengatakan bahwa,
" Cristian duty requires courageous participation at the frontiers of public concern - education, mass media, politics, law, literature and arts, labor and economic, and the whole realm of cultural pursuits. We need to do more than to sponsor a cristian subculture. We need christian counterculture that its self alongside the secular rival and publishes openly the - difference that belief in God and His crist makes in the arenas of throught and actions " ( Twilight of a Great Civilization : A Drift Toward Neo - Paganism," Westchester, III : Crossway Books, 1988, p . 44 ).
Membuat " counterculture " dan menciptakan corong proklamasi akan keunikan pemikiran dan tindakan kristen merupakan pertanggung - jawaban iman yang begitu sulit apalagi jikalau kehadiran kristen sudah dicurigai dan tidak dipercayai oleh dunia ini. Pada saat itulah umat kristen akan menghadapi dilema, dan pada saat itu pulalah kebenaran motto dari seorang tokoh oikumenis akan diakui oelh banyak orang. Seperti yang telah ia katakan, " We will have unity at any cost, even at the expense of the truth."
Mereka ditengah perjuangan pertanggung - jawaban iman, umat kristen akan merasakan besarnya kebutuhan akan " unity / kesatuan ". Karena tanpa " unity " umat kristen akan merasa tidak mempunyai " power " untuk menyelesaikan pertanggung - jawaban iman tersebut. Untuk itulah umat kristen ( termasuk kaum Injili ) akan sampai pada " keberanian dn kerelaan " untuk mengorbankan " truth / kebenaran ". Benarlah yang sinyalir oleh Francis Schaeffer beberapa tahun yang silam.
" Here's the great evangelical disaster - the failure of evangelical world to stand for truth as truth. There is only one word for theis - namely accomodation " ( " The Great Evangelical disaster, " Westchester, III : Crossway Books, 1984 ).
Bagaimana dengan kita ? Mungkinkah kita mempertanggung - jawabkan iman kita secara bersama- sama ? Mungkinkahkita bersatu ?
Penulis percaya bahwa bahwa kita dapat bersatu jikalau kita semua mengenal " truth / kebenaran " yang sama. " Truth " yang tuhan yesus katakan sebagai " kebenaran yang memerdekakan " ( Yoh 8 : 32 ). " Truth " yang memungkinkan setiap kita memiliki kebebasan untuk menciptakan "kesatuan / unity ".
Kita harus waspada di tengah perjuangan pertanggung - jawaban iman, target dan kebutuhan kita yang utama bukanlah " Unity " tetapi " unity " bukan target kita. " Unity " adalah anugrah Allah yang disediakan bagi mereka yang mengenal " truth". Oleh sebab itu orientasi kita hendaknya bukan pada " how to creat the unity ", tetapi kepada " how to know and live in the truth."
Oleh sebab itu doa penulis saat ini adalah
" Lord grand us serenity to accept the different among us.
Give us a thankful heart for the mystery of thy work..
And for the spirit of unity that bind us together in the obedience of Thy truth.
Give us courage to work out our salvation and cristian duty with fear and trembling.
That thy name, thy holy name only be glorifield."
Sumber: Majalah MOMENTUM No. 22 - April 1994
Sumber:
No comments:
Post a Comment