SAHALA
Oleh: Edward Simanungkalit
Suatu kali di bulan April 2004, penulis mau berangkat dari Jakarta ke Medan dalam rangka membesuk orangtua yang sedang sakit. Setelah masuk boarding di bandara Soekarno-Hatta, pesawat yang akan penulis tumpangi ternyata didelay selama sejam. Kemudian ditambah lagi delay selama 35 menit, sehingga harus lama menunggu di dalam waiting room. Akhirnya, penulis mengajak ngobrol teman yang bangkunya sebaris di sebelah kanan. Setelah kami berkenalan, maka masuklah pembicaraan kami dari yang ringan hingga yang berat. Terakhir, masuklah pembicaraan ke dalam topik Raja Singamangaraja XII dan Perang Toba (1878-1907) dan penulis kebanyakan merujuk pada buku “AHU SI SINGAMANGARAJA” yang ditulis oleh Prof. Dr. W.B. Sijabat.
Ceritapun terus berkesinambungan hingga akhirnya Raja Singamangaraja XII gugur bersama 3 orang anaknya dan pejuang-pejuang lainnya termasuk pejuang dari Aceh. Kami membahas betapa tragisnya situasi akhir itu, bukan sekedar gugurnya Raja Singamangaraja XII pada 17 Juni 1907, tetapi perjuangan mereka hingga sampai ke daerah Pakpak Klasen. Namun, tiba-tiba pria yang duduk di belakang penulis bersuara dengan berkata keras secara mendadak: “Sala do na nidokmi. Ipe marhusip Raja i tu pinggolhu, ndang songon i ninna. Sahala ni Raja Singamangaraja i do mandok ipe.” i.e.: “Salah yang kau katakan itu. Barusan roh Raja itu berbisik ke telingaku, tidak begitu, katanya. Roh Raja Singamangaraja itu yang mengatakannya barusan.” Oleh karena dia berbicara membentak dari belakang penulis tanpa disangka-saka, maka penulis kaget setengah mati, sehingga penulis harus menenangkan diri dulu sambil berdoa memohon pertolongan Tuhan. Sementara itu dia terus berbicara sambil berdiri kepada para penumpang pesawat yang sudah berada di dalam waiting room tersebut sambil berkata bahwa sahala Raja Singamangaraja yang berbisik barusan. Bukan hanya sahala Raja Singamangaraja yang biasa bicara kepadanya, katanya, tetapi juga sahala dari Guru Tatea Bulan dan Raja Uti. Raja Uti dan Guru Tatea Bulan merupakan tokoh spiritual dari sejarah awal yang disebut sebagai anak dan cucu dari Si Raja Batak.
Sambil berbicara dan berjalan ke depan, dia pun bercerita mengenai rencana penjalanannya. Posisinya sudah berdiri di depan para penumpang seperti memberikan ceramah kepada kami semua. Dia bercerita akan melakukan perjalanan ke Bangkara untuk mengambil Aek Sipangolu dan akan diteruskan sampai ke Pusuk Buhit, karena ada acara ritual di sana bersama komunitasnya di puncak Pusuk Buhit. Dia pun memperkenalkan namanya dan di sini penulis hanya menulis initialnya mengingat kode etik juga, yaitu: SOS. Kesempatan itu tetap penulis pergunakan untuk menenangkan diri sambil berdoa dengan berbisik memohon kekuatan dari Tuhan, pimpinan, dan perlindunganNya. Dan, memohon Tuhan menutup bungkus diri penulis dengan darah Yesus dari ujung kaki hingga ke ujung rambut serta pertolongan kuat-kuasa Roh Kudus. Penulis juga ada melihat dua orang yang baru pulang dari acara Seminar & KKR di Surabaya sambil membawa photo besar penampakan Yesus Kristus pada saat acara seminar dan dapat diphoto, sehingga mereka membawa photo tersebut dalam ukuran besar sekitar 24 inci. Mereka berdoa juga dengan khusuknya.
Setelah merasa tenang, mulailah penulis mempertanyakan kenapa dia menyatakan salah begitu saja uraian penulis, padahal penulis menyampaikannya berdasarkan buku yang paling banyak dan luas penelitiannya. Oleh karena itu, tidak boleh menyalahkan begitu saja secara serampangan, tetapi SOS mengatakan bahwa sahala Raja Singamangaraja itu yang membisikkannya. Dia tidak menyampaikan argumentasi secara rasional, tetapi selalu menggunakan senjata bahwa sahala Raja itulah yang membisikinya. SOS juga mengatakan bahwa sahala Raja Singamangaraja, sahala Raja Uti, dan sahala Guru Tatea Bulan sedang berada di ruangan itu.
Penulis merasakan dia mengklaim begitu saja bahwa sahala itu yang berbisik kepadanya, sehingga penulis sanggah dengan mengatakan bahwa tidak ada yang dapat menguji kebenaran pengakuannya itu. Oleh karena dia selalu mengklaim begitu saja, maka penulis akhirnya berkata bahwa penulis sangat menaruh hormat kepada Raja Singamangaraja XII yang telah berjuang dengan konsisten sampai hembusan nafas terakhir. Kemudian penulis meminta SOS berbicara saja lagi kepada sahala itu untuk menyampaikan pesan penulis: “Katakanya kepada sahala itu: ‘Dua ribu tahun lalu dia sudah dikalahkan dan dia hanyalah pendusta. Tidak benar itu Singamangaraja, tetapi pendusta yang mengaku-ngaku Singamangaraja saja itu. Katakan dia itu pendusta dan minta dia dimandikan dengan darah Yesus.” Menjawab itu SOS berkilah bahwa penulis hanya mengandalkan agama dari Timur Tengah. Penulis mengulang lagi agar dia sampaikan pesan penulis kepada sahala tersebut kalau memang sahala itu ada di ruangan tempat kami menunggu. Ini penulis lakukan untuk menghancurkan klaim dia tadi yang dibisiki sahala dan sekaligus masuk kepada pokok permasalahan dengan menelanjangi siapa “sahala” itu serta menceritakan karya Kristus di kayu salib dan darah Yesus yang berkuasa menghancurkan roh-roh itu.
Penulis kejar terus dia agar menyampaikan pesan penulis itu kepada sahala tadi, karena sahala itu ada di ruangan itu seperti dia katakan sebelumnya. Akan tetapi, SOS tidak mau melakukan itu dan malah berkilah dengan berbagai alasan yang tidak ada kaitan langsung. Oleh karena penulis berkata begitu terus, agar menyampaikan pesan penulis kepada sahala tadi, maka mulailah dia melemah dan secara perlahan-lahan mulailah dia hanya bicara pelan kepada orang yang berada di sampingnya. Akhirnya, mulailah penulis menyerang SOS untuk mengakhiri perdebatan kami dengan berkata: “Ngapain aja pergi ke Pusuk Buhit, karena tidak ada apa-apanya di sana. Mau belajar ilmu apa di sana? Terbukti bahwa Belanda dapat menjajah kita, maka berarti ilmu Belanda yang lebih hebat, sehingga belajarlah ilmunya Belanda itu. Tapi, Belanda dikalahkan Jerman pada Perang Dunia II, sehingga masih lebih baik belajar ilmu Jerman. Akan tetapi, Jerman pun dikalahkan Inggris dan Amerika Serikat, sehingga ilmunya Inggris dan Amerika Serikat lebih hebat. Jadi, belajar ilmu itu ke Inggris dan Amerika Serikat, bukan ke Pusuk Buhit. Belajar ilmu ke Pusuk Buhit sia-sia, karena dulu masih kalah sama Belanda.” SOS pun tidak menjawabnya lagi dan penulis pun hanya memandangi dia saja sampai panggilan masuk pesawat bergema. Kami pun berjalan menuju pesawat. Penerbangan pun berlangsung hingga kami tiba di bandara Polonia, Medan dan penulis masih meneruskan perjalanan ke Sidikalang.
Belakangan penulis mendengar dari beberapa orang di Sumatera Utara, Riau, Bandung, dan Jakarta bahwa ternyata SOS adalah seorang dukun yang dikagumi oleh banyak orang. Penulis sebelumnya tidak pernah mendengar namanya, karena penulis tidak akrab dengan dunia perdukunan sama sekali. Memang penulis sadar bahwa SOS adalah dukun sejak dia berkata bahwa sahala Raja Singamangaraja, sahala Raja Uti, dan sahala Guru Tatea Bulan ditambah lagi dia akan ke Bangkara mengambil aek sipangolu untuk dibawa ke Pusuk Buhit mengikuti acara ritual di sana. Meskipun demikian, dalam posisi seperti itu, penulis memilih akan menyaksikan kuasa Allah di dalam Kristus Yesus dengan pertolongan kuat-kuasa Roh Kudus. Dan, darah Yesus berkuasa menghancurkan kuasa-kuasa yang tidak berkenan kepada-Nya. Solideo Gloria.DDD
No comments:
Post a Comment