Sunday, July 26, 2015

PERTANGGUNGJAWABAN IMAN KRISTEN BERNEGARA & BERPOLITIK


PERTANGGUNGJAWABAN IMAN KRISTEN BERNEGARA & BERPOLITIK 
Yakub B. Susabda 

Makalah ini diambil dari ceramah beliau untuk PIKI Jatim, Mei 1993.   

             Keterlibatan umat Kristen di masyarakat, baik itu dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dsb, sangat ditentukan oleh pemahaman teologis atas "hal keterlibatan itu sendiri." Ada golongan Kristen yang menganggap bahwa keterlibatan langsung dalam masalah-masalah politik dan sebagainya bukanlah panggilan Kristen, tetapi ada pula yang berpendapat bahwa tanpa keterlibatan langsung, umat Kristen tidak mungkin menghadirkan kerajaan Allah di bumi. 

            Menurut pengamatan penulis, sikap Kristen dalam hal ini dapat dibagi dalam dua golongan besar, yaitu :

a.      Golongan kaum " Neo - Reformed ". 

Kaum Neo-Reformed yang Calvinistis ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran teologi dari Karl Barth, D. Bonhoeffer, Emil Brunner, Reinhold Nielbuhr, G.C. Berkouwer dan Herman Dooyeweerd. Mereka percaya bahwa "tanggung jawab kristen di dunia adalah merealisasikan keadilan dan kebenaran, dan untuk itu umat kristen harus berpartisipasi secara aktif dalam percaturan politik."

Keterlibatan umat Kristen dalam masalah politik dan sosial adalah jawaban atas panggilan Allah untuk menghadirkan kerajaan Allah di bumi. Memang mereka sadar bahwa kerajaan Allah yang sempurna tak mungkin dapat terealisasikan dalam kehidupan ini. Oleh sebab itu umat kristen harus realistis. Di tengah kehidupan manusia yang sudah dilumuri oleh dosa, setiap sarana untuk menghadirkan keadilan dan kebenaran pasti juga sudah dicemari oleh dosa.

Niebuhr mengatakan, 

" Society, permeated by human sin, simply cannot live by pure ideals; thus it must accept the limited possibilities given by political acceptualities. For instance, war is a necessary evil " ( Ricard Quebedeaux, " The wordlyevangelicals, " NY : Harper And Row, 1978, p . 152 ). 

Kaum Neo-Reformed percaya nabi-nabi dalam Perjanjian Lama telah memberikan contoh yang begitu gamblang, betapa keterlibatan secara aktif dalam bidang politik dan sosial adalah panggilan umat Allah di bumi ini. 

(Catatan) : Pada abad XX ini tokoh - tokoh Neo - Reformed yang menekankan perlunya keterlibatan Kristen di bidang politik antara lain : Richard Mouw ( " Politics and the Biblical Drama" ). Paul Henry ( dari Calvin College,putera tokoh injili Carl Henry ), Stephen Monsma ( Calvin College ), Lewis Smedes dan Paul K. Jewett ( Fuller Theological Seminary ). Pemikiran - pemikiran mereka telah coba diterapkan dalam bidang politik John B. Anderson ( Republican congressman ), Mark Hatfield ( Senator dari Oregon ), Jerry Falwell ( pendeta Baptist dan pendiri Moral Majority ) dan Jimmy Carter ( mantan presiden Amerika ).   

b.      Golongan Kaum Injil yang " radikal ". 

Kaum injil yang tergolong radikal ini percaya bahwa keterlibatan Kristen dalam " percaturan politik jaman ini " adalah hal yang sia - sia, oleh karena tidak ada satu sistem pemerintahan dimanapun juga yang cocok dengan misi kristen di tengah dunia. Kalau kaum " Liberal " (a.1. Neo - Reformed) berharap dapat memakai " What seems possible within the establishment if system, " maka kaum radikal menolak setiap sistem yang ada karena mereka tidak percaya bahwa " the meaningful change can be brought about throught existing structures."

Dengan presaposisi ini, perjuangan kaum radikal adalah mendirikan sistem politik dan kehidupan masyarakat yang sama sekali baru ( tetapi ini berbeda dengan " Utopia " yang lari dari kenyataan ), di mana kehidupan dan hubungan antara umat manusia tidak lagi ditentukan dan diatur oleh sistem politik yang ada sekarang ini, yang ... " sama sekali tidak memungkinkan " peningkatan martabat menusia seutuhnya.

Tanggung jawab Kristen dalam bidang politik adalah menciptakan satu sistem pemerintahan dan kehidupan yang baru di mana keselamatan dalam Kristus dapat dimanifestasikan secara kongkrit dan utuh, di mana umat Kristen dapat menerapkan keadilan, kebenaran dan kasih kepada sesama manusia, di mana martabat manusia dapat diangkat dan dihargai seutuhnya. Mereka percaya bahwa panggilan umat Kristen di dunia adalah untuk menjadi terang dan garam, di mana kehidupan mereka dapat menjadi model bagi kehidupan seluruh umat manusia di muka bumi ini. Sampai sekarang ini  "hampir seluruh ajaran Kristus" tidak pernah dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat yang merata oleh karena sistem yang ada.

Oleh sebab itu tugas umat Kristen adalah menciptakan sistem yang baru. Tetapi bagaimana? Pertanyaan "how to" - nya ini merupakan tantangan terbesar bagi kaum radikal.

Ada di antara mereka yang memperjuangkan sistem baru yanglewat " non violent protest demonstrations " ( misal Martin Luther King, Jr ). Adapula yangh mencoba lewat penggalangan massa lewat gerakan gereja dan penginjilan yang besar ( misalnya Billy Graham). Tetapi pada umumnya mereka tidak mau terlibat dengan " Percaturan politik yang ada ".

Seperti yang Arthur G. Gish katakan secara tepat, " Such action, they feel, does not involve compromise, because it does not include operation on the basis of establishment values. "  ("The New Left and Cristian Radicalishm," Eerdmans, 1970, p . 42 )

( Catatan ) : Tokoh - tokoh kaum Injili yang radikal, antara lain : John H. Yoder ( teolog Mennonite yang menulis " The Politics of Jesus " ), Jacques Ellul ( Sosiolog dan teolog awam dari Prancis ), William Stringfellow ( teolog awam dari gereja Episkopalian ), Chick Colson ( mantan pembantu presiden R. Nixon dlam skandal Watergate ), dan Daniel and Phillip Berrigan ( iman gereja Katolik). Tahun 1971 mahasiswa - mahasiswa dari Trinity Evangelical Divinity School di Deerfield, di bawah radikalis Jim Wallis mendirikan the people 's Christian Coalition dan memulai penerbitan majalah mereka yang terkenal " Sojourners ". Di samping terbitan dari koalisi ini, kaum radikal juga menawarkan ide - ide mereka melalui periodicals, misalnya " The Other Side ", " Freedom Now ", dan " Cross Wind". Melalui itulah mereka berbicara tentang masalah - masalah politik, sosial, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya tanpa keterlibatan langsung dengan salah satu sistem politik yang ada.

--------------------------------------------------------------------------------
DIMANA KITA DAN APA YANG DAPAT KITA LAKUKAN ? 
--------------------------------------------------------------------------------

            Pergumulan dari saudara - saudara seiman kita di Amerika memberikan suatu pelajaran yang sangat berfaedah. Tentu situasi dan kondisinya sangat berbeda, tetapi prinsip - prinsip pergumulannya sama, yaitu pergumulan untuk merealisasikan " pertanggung - jawaban Kristen di tengah dunia. " Sebagai umat tebusan Allah, kita terpanggil untuk merealisasikan kehadiran kerajaan Allah di muka bumi di mana damai, kesejahteraan, keadilan dan cinta kasih dapat dialami semua bangsa. Kita punya " ideal ", bahkan kita punya " usulan " bagaimana atau melalui sarana sistem pemerintahan yang seperti apakah " ideal " tersebut dapat diwujudkan. Tetapi kenyataannya kita sendiri. Kita bukanlah " penentu tunggal. " Kita ditempatkan Allah di bumi Indonesia di mana sebagai umat Kristen kita adalah " anak dengan beberapa saudara sekandung ". Kita harus hidup bersama, memikirkan bersama, bahkan bekerja sama dengan saudara - saudara sekandung kita mewujudkan tujuan cita - sita bersama. " ideal " kita c

            Belajar dari pengalaman saudara-saudara seiman di Amerika, kita menyadari betapa  "kebijaksanaan" umat Kristen selama ini tidak menghasilkan hal-hal yang memadai. Baik kaum Neo-Reformed maupun kaum Radikal keduanya tidak berhasil merealisasikan kehadiran kerajaan Allah di muaka bumi. Ketidakadilan makin merajalela dan manusia makin kehilangan kemanusiaannya. Kemenangan Kristus makin tidak dikenali sehingga damai, kesejahteraan, cinta kasih menjadi semakin asing dari kehidupan umat manusia. Bagaimana Indonesia ? Bagaimana merealisasikan pertanggung-jawaban iman kristen di bumi tercinta ini ? 

            Melalui kesempatan ini penulis menawarkan suatu proposal. Dari kacamata seorang rohaniawan penulis melihat bahwa : 

I.                    Pertanggung - Jawaban iman kristen harus mulai dari satu premis dasar yaitu " All Truth is God's Truth ". 

Dalam pidatonya di muka sidang Majelis Lengkap PGI di hotel panghegar Bandung, Pdt. Eka Darma putera mengingatkan akan bahaya jikalau agama memakai klaim kemutlakan kebenaran untuk masuk ke dalam daerah yang bukan wewenangnya, yaitu negara. Negara punya wilayah kewenangannya sendiri, agama juga mempunyai wilayah kewenangan sendiri ( Kompas, 13 Maret 1993 ).

Ide tersebut bukanlah suatu ide yang baru. Tetapi heran sekali, di tengah perjalanan sejarah yang tidak selalu sesuai dengan kemauan kita, ide tersebut sering terlupakan begitu saja. Agama bisa tergoda untuk memasuki daerah yang bukan wilayah kewenangannya untuk menciptakan suatu " negara agama ". Negara yang semata - mata hanyalah alat dari suatu agama. Ini suatu skandal. Karena dengan demikian, negara akan kehilangan fungsinya sebagai negara yang melindungi hak azasi dan " kebebasan tumbuh " tiap individu. Agama Kristen kalaupun ada kesempatannya ( puji tuhan, tidak ada ), tidak boleh memasuki wilayah kewenangan negara. Mengapa demikian ? Dan lalu bagaimana pertanggung-jawaban iman kristen dalam bernegara, dalam berpolitik ? Untuk menjawab ini perlu kita pahami premis dasar kita bahwa " All truth is God's truth". 

Bicara mengenai kebenaran / truth, kita mengakui bahwa kristen mengenal 2 macam truth / kebenaran yaitu : 

  a.       Revealed Truth atau kebenaran yang disingkapkan Allah secara khusus untuk menyatakan rencana keselamatan-Nya didalam Kristus Yesus. Kebenaran ini merupakan suatu kebenaran yang intoleran. Ini masalah iman. Umat kristen tidak mungkin bisa berdialog dengan umat beragama " yang lain " melalui atau dengan kebenaran ini. 

Penghayatan akan " Revealed Truth " sering kali dimanivestasikan oleh umat Kristen dalam bentuk simbol - simbol agama, doktrin - doktrin, tradisi - tradisi. Hubungan antara umat kristen dengan " Revealed Truth " membentuk suatu dunia eksklusif yang tertutup terhadap " pemahaman orang lain ". Oleh sebab itu berbicara mengenai tanggung jawab umat kristen dalam bernegara dan berpolitik, kita harus menyadari bahwa kita bukan berbicara tentang " bagaimana membuat Revealed Truth yang kita yakin itu dapat di terima oleh oleh orang - orang lain. " Tanggung jawab kristen dalam bernegara bukanlah usaha " kristenisasi. " Kita tidak terpanggil untuk mendirikan " negara gereja ".  

b.      Discovered Truth atau kebenaran yang diijinkan bahkan disediakan Allah untuk ditemukan oleh umat manusia. Discovered Truth meliputi semua kebenaran di luar  "Releaved Truth" yang disediakan Allah untuk di temukan dan di manfaatkan dalam kehidupa umat manusia. Itu termasuk kebenaran dalam ilmu politik, ilmu hukum, ilmu sosial, ilmu kedokteran, ilmu jiwa, ilmu pendidikan, dan sebagainya. 

Kita percaya bahwa all truth is God's truth. Semua kebenaran ( kalau benar - benar kebenaran ) adalah kebenaran yang sumbernya satu yaitu Allah. Oleh sebab itu  "Discovered Truth" merupakan kebenaran yang naturenya toleran. Manusia dengan latar belakang agama apapun juga bisa bertemu dalam suatu pemahaman yang " sama ". Manusia tidak perlu membawa panji - panji agama dalam arena " Discovered Truth ". Bahkan panji - panji simbol, doktrin dan tradisi suatu agama akan " selalu " menghambat proses pencarian, penemuan dan penerapan suatu " Discovered Truth ". Sebagai kebenaran yang naturenya untuk dieprsembahkan bagi kebaikan umat manusia, " Discovered Truth " seringkali mengalami pencemaran / kontaminasi. Dan pencemaran itu terjadi oleh karena manusia sering kali mencoba memberi soimbol - simbol agama pada " Discovered Truth ". Seolah-olah misalnya, ada ilmu politik Kristen di mana gereja dan simbol-simbol identitas yang unik ( keselamatan, kebaktian, doa, pengabaran Injil, dan sebagainy

Pencemaran yang intinya adalah kegagalan di dalam integrasi antara " Revealed Truth dan Discovered Truth ini harus dapat diatasi. Allah di dalam Yesus kristus yang menjadi sumber dari " Revealed Truth " adalah Allah yang sama yang menjadi sumber dari setiap " Discovered Truth " yang ditemukan oleh umat manusia. Meskipun demikian tidak berarti respon kita terhadap " Discovered Truth " harus sama dengan respon kita terhadap " Revealed Truth ". Kita tidak perlu memberi simbol - simbol agama kepada " Discovered Truth "." Discovered Truth " adalah arena yang terbuka dimana setiap " Revealed Truth " memperoleh konfirmasinya. Setiap agama boleh mengklaim kemutlakan " Revealed Truth " mereka masing - masing, tetapi begitu mereka memasuki arena " Discovered Truth " mereka harus berani meninggalkan klaim tersebut, karena dalam arena " Discovered Truth " tidak ada tempat bagi kalim apapun juga. Tidak ada tempat lagi " spirit menang - menangan ". Yang ada hanyalah " Realita " bahwa dirinya sedan

( Catatan : " Discovered Truth " tidak lebih tinggi dari "Revealed Truth". Tapi klaim kita akan keabsolutan " Revealed Truth " hanya bisa dipahami oleh orang lain melalui pertanggung-jawaban moral dalam  " Discovered Truth ". Moral itupun standartnya dari " Revealed Truth " yaitu Alkitab. " Revealed Truth " dalam makalah ini ditujukan hanya untuk menunjuk kepada Alkitab, meskipun agama lain berhak mengklaim keabsolutan " Revealed Truth "-nya.)   

II.       Pertanggung - jawaban iman kristen adalah soal " kehidupan yang seutuhnya " dan bukan soal " agama " dalam orientasinya yang tradisionil. 

Pada saat kita berbicara tentang pertanggung - jawaban iman kristen, kita harus menyadari bahwa kita tidak lagi berbicara tentang " agama kristen " dengan orientasinya pada denotasi gereja, ritus - ritus agama, tradisi dan kegiatan - kegiatan pendukungnya. Pertanggung - jawaban iman kristen adalah pertanggung - jawaban kepada Allah dalam masalah " kehidupan dalam pengertian yang seutuhnya." Inilah kesempurnaan karya keselamatan Kristus mewujudkan mewujudkan diri dalam kehidupan manusia yang seutuhnya.

Sayang sekali, sejarah gereja menyaksikan kegagalan - kegagalan umat kristen dalam menghidupi prinsip kebenaran ini. Sejarah keselamatan yang naturenya " linier " telah diubah menjadi " cyclical ", oleh karena umat Allah mengulang kesalahan yang sama terus - menerus. Gereja betul - betul lumpuh. Peranannya di tengah dunia hampir tidak ada sama sekali. Dan ini terjadi bukan oleh karena geraja tidak sadar akan panggilan yang harus dipertanggung - jawabkan di tengah dunia. Ini adalah masalah " sistem ". Sistem yang menjerat, sehingga gereja tidak mampu keluar dari dunianya. Pertanggung -jawaban pelayanan pada anggota tubuhnya sendiripun tidak pernah dapat dilaksanakan dengan baik. Bagaimana mungkin gereja bisa melangkahkan kaik untuk melayani dan bersaksi ditengah dunia ? 

Kritik dan sindiran - sindiran yang menyakitkan telah di lontarkan kepada gereja. Dari yang terang - terangan mempermasalahkan gereja dan menyebut gereja sebagai penyebab utama dari kekacauan dunia ( misalnya : perang dunia II ada mengatakan " Church apathy was responsible fir the catastrope of the war ), sampai kepada kaum Eksistensialis yang ignorant yang mengusulkan supaya gereja meninggalkan Allah agama kristen yang " sudah mati ". F. Nietzsche misalnya, mengatakan bahwa agama kristen adalah agama budak, yaitu agama dari orang -orang yang rela memperbudak diri mereka sendiri, mematikan potensi kehidupan mereka sebagai manusia demi untuk menghidupkan Allah mereka. Allah yang tak lain dari pada Allah ciptaan mereka sendiri. Oleh sebab itu dalam tulisannya yang berjudul " The Madman ", Nietzsche menganjurkan, 

" Something new must replace God as the medium of traditional values. This would be man, or rather, the " superior man / ubermensch " ( W. Kaufmann, " The Gay Science ", Book 3, 125, NY : Viking, 1974, pp. 181 - 182 ). 

Ia yakin bahwa nasib manusia di dunia akan dapat dieprbaiki jikalau orang -orang kristen meninggalkan " Allah " mereka dan memanfaatkan potensi yang mereka miliki sebagai manusia yang ia sebut " the only true source of the good. " 

Memang kritik Nietzsche ini di dasarkan pada " ignorance "-nya atas realita kehidupan Tubuh Kristus. Sebagai seorang ateis ia tidak tahu sama sekali apa itu keselamatan di dalam kristus, siapa Allah yang hidup, dan bagaimana realita keselamatan itu terjadi dan dialami dalam kehidupan manusia. Meskipun demikian, kritik itu bukan merupakan kritik yang kosong. Bagi kita kebenaran jritik itu justru nampak pada saat umat kristen berbicara tentang " pertanggung - jawaban iman " di tengah dunia. Benar - benar ada satu kebenaran yang tidak dapat di sangkakali ( meskipun  Nietzsche tidak menyadari dengan kesadaran yang sama - Mat 23 : 3 )  bahwa " tanpa keberanian menanggalkan 'Allah agama Kristen' kita tidak pernah akan masuk ke dalam kancah pertanggung - jawaban iman yang seutuhnya. 

Pertanggung - jawaban iman pada " Allah yang hidup " bukanlah masalah " pemeliharaan tradisi agama kristen ", tetapi masalah pertanggung - jawaban atas kehidupan yang seutuhnya ". Bukan hanya masalah di gereja, tetapi masalah dalam setiap aspek kehidupan manusia, baik itu masalah bernegara, masalah tanggung jawab  dalam bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, pendidikan, kemiskinan, urbanisasi, lingkungan hidup, dan sebagainya. Masalah dalam setiap aspek kehidupan manusia yang seutuhnya. 

Pada saat ketetapan Allah dalam aspek-aspek kehidupan manusia tersebut dihancurkan, umat kristen terpanggil untuk mempertanggung-jawabkan iman mereka. Tepatlah yang D. Bonhoeffer gariskan bahwa, 

" Ecclesiantical quietism or retreat into a " let - got - handle - it ", attitude. would be tantamount to an irresponsible surrender to the forces of evil and a self escape from the cross of discipleship. 

History had to be shaped by the christian, and theis meant that faith had to be inspirited by a desire for freedom and a sense of responsibility. To accept status quo, particularly when the necessities of the life were denied and human rights violates, was an infidelity to the gospel " ( Geffrey B. Kelly, " Liberating Faith ", Minn : Augsbrg Pub. House, 1984, pp . 67 - 68 ). 

III.     Pertanggung - jawaban iman Kristen : di antara dua kutub yaitu " Determinism " dan " Free - will ". 

Setiap agama selalu memiliki jiwa yang mengklaim akan kebenaran mutlak yang tidak terbatas ruang dan waktu dari ajaran agamanya ( Eka, MPL PGI ). Jiwa yang mengandung kekuatan yang besar ini jikalau tidak di sadari akan menjadi suatu " potensi destruktif ", khususnya oleh karena melayani kebutuhan dasar manusia untuk " playing God ". Harry Emerson Fosdick pernah menyingkap realita ini dengan tepat sekali. Ia mengatakan di dalam bukunya yang berjudul " Dear Mr. Brown ".

" there is not a more destructive force on earth than the religious person who condemns others out of a sense of service to God " ( NY : Harper & Row, 1961, p . 170 ).

Sebagai umat kristen kita menyadari akan bahaya ini. Oleh sebab itu, meskipun kita tahu bahwa sikap untuk tidak ' playing God ' bisa menjadi " peluang " bagi yang lain untuk memanfaatkan kesempatan yang ada, kita tetap percaya bahwa pertanggung - jawaban iman kita adalah kepada Tuhan. Tugas kita hanyalah " menanam dan menyiram ", dan kita terpanggil untuk mengambil alih tanggung jawab tersebut.

Sejarah kehidupan umat Allah kadang - kadang berjalan sedemikian rupa, di mana tanpa sadar mereka sudah begitu lama meninggalkan Tuhan. Mereka yang di panggil untuk merealisasikan kehadiran kerajaan Allah di bumi, ternyata tidak berfungsi sama sekali. Oleh sebab itu Alkitab menyaksikan betapa Allah yang memilih dan menguduskan umatNya adalah Allah yang juga bisa menolak dan membuang umatNya. Sepuluh suku Israel lenyap sama sekali di pembuangan Asyur  (2 Rj 17 ) dan dua suku yang terakhir yaitu yehuda dan Benyaminpun dibuang ke Babel. Kita bisa membayangkan dan merasakan apa yang ada di dalam hati umat Allah saat itu. Kita bahkan bisa merasa "empathy" dengan raja - raja Yehuda yang begitu marah dan tersinggung pada saat nabi - nabi Tuhan ( Yer 25, 27 - 28, 36 ; Habakuk, dan sebagainya ) mengingat mereka untuk tidak melawan, tidak menggalang kekuatan, tidak memakai cara - cara dunia untuk menyelamatkan kerajaan mereka. Apabila pada saat nabi - nabi Tuhan itu menyuruh mereka bersiap - s

Berada ditengah periode sejarah yang seperti itu betul - betul tidak menyenangkan. Godaan terbesar bagi umat Allah adalah melupakan panggilanNya. Panggilan yang hanya untuk menanam dan menyiram, dan bukan panggilan untuk menentukan pertumbuhan... menentukan nasibnya... menentukan apa yang akan dicapai melalui upaya dan usahanya. Umat Allah harus dapat membedakan antara "determinisme" ( apa yang menjadi penetapan dan tanggung jawab Allah ) dan " free will " ( apa yang menjadi kehendak bebas dan tanggung jawab manusia ). Bagaimana dengan kita?

Berbicara tentang " Determinisme dan Free Will " dalam konteks kehidupan masa kini mengundang beberapa pertanyaan yang pelik, antara lain :

(1)    Sampai di mana kita dapat " exercise our freewill "? Apakah artinya menanaman dan menyiram "? Apakah menggalang kesatuan umat kristen tidak termasuk tugas " menanam " ? Apakah membangkitkan semangat pengabdian dan menghidupkan visi panggilan tidak termasuk tugas " menyiram " ?

(2)    Apa itu " determinisme " dalam konteks kehidupan jaman ini ? Bukanlah Allah tidak lagi mengirimkan nabi - nabiNya untuk mengatakan " secara kongkrit " kehendakNya ? Bagaimana kita bisa menyimpulkan bahwa kondisi saat ini ( " lemah peran " ) adalah pertanda dari umat Allah tidak berhak memperbaiki perannya dan ikut menentukan nasibnya sendiri ?

(3)    Bagaimana hubungan antara " hak dan kesempatan " dan " freewill " ? Bukankah umat kristen di Indonesia tidak menuntut apa yang bukan menjadi " haknya " ? Apakah " Kesempatan " yang masih tersedia saat ini bukan kesempatan yang Allah berikan kepada umatNya ?

(4)    Apakah dalam konteks " frewill " kita boleh berusaha menciptakan " balance of power " ? Bukankah bagi umat kristen kekuatan politik di belakang " balance of power " hanyalah sarana untuk menciptakan suasana dialog yang fair "? Bolehkah umat kristen memakai kekuatan politik untuk tujuan yang mulia ini ?

Daftar dari pertanyaan - pertanyaan ini bisa menjadi semakin panjang pada saat kita betul - betul memasuki arena pertanggung - jawaban iman dalam konteks yang sesungguhnya. Pertanggung - jawaban iman Kristen akan terus menerus berada di antara dua kutub " determinasi dan freewill". Berbahagialah orang yang memahami bahwa kedua kutub ini " bukan " suatu dilema. Pertanggung - jawaban kristen adalah pertanggung - jawaban umat Allah yang terus menerus sedang berada " di tengah jalan ". Dengan tepat penulis Ibrani mengingatkan, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang merintangi kita dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan membawa iman kita kepada kesempurnaan." (Ibr 12 : 1 - 2 )  

IV.    Pertanggung - jawaban iman kristen : di antara dua kutub yaitu " the need for unity/kesatuan " dan " the necessity for Christian purity ". 

Pertanggung - jawaban iman akan membawa umat kristen " mau tidak mau " masuk ke dalam arena pergumulan yang serius dengan masalah - masalah kehidupan masyarakat yang seutuhnya. Untuk itu Carl Henry pernah mengatakan bahwa,

" Cristian duty requires courageous participation at the frontiers of public concern - education, mass media, politics, law, literature and arts, labor and economic, and the whole realm of cultural pursuits. We need to do more than to sponsor a cristian subculture. We need christian counterculture that its self alongside the secular rival and publishes openly the - difference that belief in God and His crist makes in the arenas of throught and actions " ( Twilight of a Great Civilization : A Drift Toward Neo - Paganism," Westchester, III : Crossway Books, 1988, p . 44 ).

Membuat " counterculture " dan menciptakan corong proklamasi akan keunikan pemikiran dan tindakan kristen merupakan pertanggung - jawaban iman yang begitu sulit apalagi jikalau kehadiran kristen sudah dicurigai dan tidak dipercayai oleh dunia ini. Pada saat itulah umat kristen akan menghadapi dilema, dan pada saat itu pulalah kebenaran motto dari seorang tokoh oikumenis akan diakui oelh banyak orang. Seperti yang telah ia katakan, " We will have unity at any cost, even at the expense of the truth."

Mereka ditengah perjuangan pertanggung - jawaban iman, umat kristen akan merasakan besarnya kebutuhan akan " unity / kesatuan ". Karena tanpa " unity " umat kristen akan merasa tidak mempunyai " power " untuk menyelesaikan pertanggung - jawaban iman tersebut. Untuk itulah umat kristen ( termasuk kaum Injili ) akan sampai pada " keberanian dn kerelaan " untuk mengorbankan " truth / kebenaran ". Benarlah yang sinyalir oleh Francis Schaeffer beberapa tahun yang silam.

" Here's the great evangelical disaster - the failure of evangelical world to stand for truth as truth. There is only one word for theis - namely accomodation " ( " The Great Evangelical disaster, " Westchester, III : Crossway Books, 1984 ).

Bagaimana dengan kita ? Mungkinkah kita mempertanggung - jawabkan iman kita secara bersama- sama ? Mungkinkahkita bersatu ?

Penulis percaya bahwa bahwa kita dapat bersatu jikalau kita semua mengenal " truth / kebenaran " yang sama. " Truth " yang tuhan yesus katakan sebagai " kebenaran yang memerdekakan  " ( Yoh 8 : 32 ). " Truth " yang memungkinkan setiap kita memiliki kebebasan untuk menciptakan "kesatuan / unity ".

Kita harus waspada di tengah perjuangan pertanggung - jawaban iman, target dan kebutuhan kita yang utama bukanlah " Unity " tetapi " unity " bukan target kita. " Unity " adalah anugrah Allah yang disediakan bagi mereka yang mengenal " truth". Oleh sebab itu orientasi kita hendaknya bukan pada " how to creat the unity ", tetapi kepada " how to know and live in the truth."  

            Oleh sebab itu doa penulis saat ini adalah 
            " Lord grand us serenity to accept the different among us. 
            Give us a thankful heart for the mystery of thy work.. 
            And for the spirit of unity that bind us together in the obedience of Thy truth. 
            Give us courage to work out our salvation and cristian duty with fear and trembling. 
            That thy name, thy holy name only be glorifield." 

Sumber: Majalah MOMENTUM No. 22 - April 1994


Sumber:








Tuesday, July 21, 2015

MENGHANTAR IBUNDA KE GERBANG SORGA

MENGHANTAR IBUNDA KE GERBANG SORGA
Oleh: Edward Simanungkalit


“Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa mendengar perkataan-Ku dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup.” (Yohanes 5:24)

          Suatu kali kedua orangtua penulis datang ke Jakarta pada bulan Juni 1995. Ketika pertama sekali bertemu dengan keduanya ada sesuatu yang berbeda pada wajah ibu yang terlihat agak lebih hitam. Itu membuat adik penulis menanyakannya kenapa sampai begitu. Dia menjawab tidak ada apa-apa sebabnya, karena biasa-biasa saja sehari-hari. Kami tertawa-tawa saja pada waktu itu. Kami biasa memanggil orangtua laki-laki dengan panggilan: “Bapak”, dan memanggil orangtua perempuan dengan panggilan: “Ibu”, karena kami pernah menetap di Sumatera Barat setelah pindah dari Kalimantan Timur, sehingga berpengaruh terhadap panggilan itu. Bapak kami bernama Wilman Simanungkalit (nomor 13) dan Ibu kami bernama Herna Saulina Nababan nomor 17 dari Lumbantongatonga, Butar.
          Sesampainya di Jakarta, ibu mulai ada panas dan demam, sehingga adakalanya tidak dapat ikut jalan-jalan. Suatu kali penulis bawa bapak ke rumah paribannya, pariban dari bonaniari kami di Lumbanmotung, Butar. Ompung kami yang 6 generasi ke atas adalah kawin dengan boru Nababan yang dijadikan boru Nababan Saluhut di Lumbanmotung dan diberikan tanah untuk kampung buat ompung itu. Karena kami berada di tengah-tengah kampung Nababan, maka kami berulang-ulang kawin dengan boru Nababan terutama di sekitar kampung itu juga. Jadi, inanguda, pariban bapak itu, adalah keturunan dari bonaniari kami. Itu makanya, pariban bapak itu langsung mengundang bapak & ibu menghadiri pesta adat perkawinan borunya, karena ketepatan mereka akan berpesta adat perkawinan. Bapak & Ibu pun menghadiri pesta adat perkawinan itu dan mangulosi juga waktu itu.
          Itulah terakhir kalinya ibu hadir di tengah-tengah sanak-saudara, karena sejak itu dia mulai demam-demam dan kemudian sehat beberapa hari lalu demam lagi. Sementara dalam periode itu akhirnya dia tidak berhenti berobat jadinya. Akan tetapi, semakin hari frekwensi sakitnya semakin cepat, sehingga dia mulai lemah dan pada akhirnya diopname di rumah sakit. Sebelum berangkat sehari sebelumnya, penulis jelaskan kepadanya soal hidup kekal di dalam Kristus Yesus, yang dalam istilah lain adalah pengampunan dosa dan keselamatan kekal. Kemudian penulis tanyakan kepadanya apakah bersedia mau berdoa untuk menerima hadiah hidup kekal dari Tuhan Yesus dan dia menyetujuinya. Dia pun penulis bimbing berdoa menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juselamat pribadinya untuk menerima hadiah hidup kekal  di dalam Kristus Yesus. Inilah doanya: "Tuhan Yesus, aku adalah orang berdosa, sehingga membutuhkanMu. Oleh karena itu, kubuka pintu hatiku dan mengundangMu masuk ke dalam hatiku. Engkau kuterima sebagai Tuhan dan Juruselamatku serta ampunilah segenap dosaku. Jadikanlah aku ini menjadi pribadi yang sesuai dengan kehendakMu. Terima kasih Tuhan Yesus, karena Engkau telah mengampuni seluruh dosaku. Amin."
           Setelah itu, penulis jelaskan lagi beberapa hal terkait untuk meneguhkannya pada keselamatan kekal yang diperolehnya termasuk pengampunan atas seluruh dosanya  dan menjelaskan lagi dasar-dasar jaminan hidup kekal dan kepastian hidup kekal itu. Bahwa ketika dia menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, maka Yesus Kristus diwakili Roh Kudus masuk ke dalam hidupnya dan Roh Kudus di dalamnya itu menjadi jaminan hidup kekal: “Dan inilah kesaksian itu: Allah telah mengaruniakan hidup yang kekal kepada kita dan hidup itu ada di dalam Anak-Nya. Barangsiapa memiliki Anak, ia memiliki hidup; barangsiapa tidak memiliki Anak, ia tidak memiliki hidup. Semuanya itu kutuliskan kepada kamu, supaya kamu yang percaya kepada nama Anak Allah, tahu, bahwa kamu memiliki hidup yang kekal.” (I Yohanes 5:11-13). “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya, ia mempunyai hidup yang kekal.” (Yohanes 6:47). Kemudian penulis jelaskan bahwa Kristus yang diwakili Roh Kudus di dalam dirinya itu sekali-kali tidak akan meninggalkan dirinya: “Karena Allah telah berfirman: "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau." (Ibrani 13:5b). Itulah jaminan hidup kekal!
         Firman Tuhan dalam Roma 8:38-39 berikut ini sangat menghibur: "Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” Dalam kaitan dengan itu, maka sebuah pengajaran yang paling mengibur ditulis Rasul Paulus sebanyak 44 kali di dalam surat-suratnya tentang "Kristus di dalamku dan aku di dalam Kristus". Setelah menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya, sehingga "Kristus di dalam ibu dan ibu di dalam Kristus", maka di mana Kristus berada, di situlah ibunda berada. Ibunda tidak akan pernah terpisah dari Kristus selama-lamanya!
         Keesokan harinya dia pun dibawa berobat dan akhirnya diopname di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Selama di rumah sakit, penulis menyediakan waktu untuk membacakanya ayat-ayat Alkitab buatnya dan berdoa. Saat-saat ada kesempatan, penulis membawanya berjalan-jalan dengan kreta roda ke tempat-tempat yang pemandangannya agak lega dan tenang dengan dihiasi kembang-kembang. Kami ngobrol-ngobrol di tempat-tempat itu sampai dia merasa sudah ingin tidur, dan penulis mengantarnya ke tempat tidurnya. Banyak teman dan sanak-saudara yang datang, tetapi kondisinya tidak semakin baik setelah sebulan lebih.
          Suatu kali di hari Minggu awal bulan Oktober 1995, maka para pelayan gereja dari GPIB Immanuel yang berada di Pejambon, dekat Stasiun Gambir datang mengadakan kebaktian di kamar rumah sakit. Pendetanya menyampaikan renungan singkat dan melayankan Perjamuan Kudus, sehingga kami menerima Perjamuan Kudus di dalam kamar rumah sakit. Pendeta memberikan kesempatan untuk menyanyikan langsung lagu yang paling disenangi ibu dan pada waktu itu kami menyanyi lagu: “Na Ro Pandaoni Bolon i”. Ibu merasakan sesuatu yang sangat spesial pada waktu itu, karena dia merasakan kehadiran dekat dengan Tuhan pada saat menyanyi. Dia merasa sukacita dan damai sejahtera yang dari Tuhan, sehingga dia nyenyak tidur setelah acara tersebut.
          Pada hari Selasa menjelang siang, ibuku mulai tidak bangun dan tidak dapat dibangunkan ketika ada pemeriksaan rutin ke kamar. Kemudian dia dipindahkan ke ruang isolasi sementara bapak terguncang menghadapi keadaan tersebut walaupun biasanya dia adalah orang yang tenang selama ini. Ibu dinyatakan koma oleh dokter. Walaupun demikian, penulis tetap mengajaknya berdoa dengan berbisik ke telinganya. Hanya tubuhnya yang tidak bisa bergerak, tetapi dia tetap memiliki kesadaran dan masih bisa merespon dengan cara menggerakkan jarinya perlahan-lahan. Penulis memintanya untuk memanggil nama: “Yesus” saja dan meminta tolong kepada-Nya, karena manusia terbatas, tetapi Yesus dapat menolong dalam keadaan bagaimanapun. Hal itu penulis sampaikan kepada ibu, agar dia selalu bergantung kepada Tuhan di dalam kondisi koma itu.
          Pada waktu setiap subuh, ibu sadar dan dapat berbicara dengan kami walaupun lidahnya sudah tertarik ke dalam. Meskipun demikian, dalam keadaan seperti itu, dia tidak pernah patah semangat dan penulis selalu mendorong semangatnya dan mengarahkannya, agar selalu memanggil nama Tuhan Yesus serta berdoa dalam keadaan bagaimanapun. Sehabis disuapi bubur dan memberikannya minum, kami pun berdoa setelah membacakan beberapa ayat Alkitab. Menjelang matahari terang, dia pun tertidur dan koma lagi. Begitulah kondisi yang berlangsung hingga hari Sabtu.
          Pada hari Sabtu, beberapa teman dan sanak-saudara datang membesuk ke rumah sakit. Ada yang menyarankan agar dalam kondisi seperti itu dibawa saja pulang ke kampung. Bapak dan adik terpengaruh juga mendengar saran itu, tetapi penulis tidak setuju dan menolaknya. Ada seorang ibu yang berbicara kepada penulis secara khusus dan berkata bahwa kami harus merelakan ibu itu pergi dan menyerahkannya kepada Tuhan. Penulis paham apa yang dia maksudkan dan dapat menerimanya, tetapi bapak belum rela untuk melepaskan ibu dan penulis tidak dapat memaksa bapak. Penulis menyerahkan hal itu kepada bapak dan terserah kerelaannya. Sampai malam tiba masih ada teman dan sanak-saudara yang besuk di rumah sakit dan ada yang memberikan kartu telepon untuk digunakan menelpon melalui telpon umum. Di RSPAD Gatot Subroto pada waktu itu cukup banyak telepon pakai kartu disediakan di sana dan tentulah hal ini sangat membantu.
          Malamnya, Sabtu itu, kondisi ibu semakin kritis. Sekitar jam 21:00, bapak memutuskan untuk menyerahkan ibu sepenuhnya kepada Tuhan. Bapak memintaku yang memulai berdoa penyerahan kepada Tuhan dan disambung bapak lagi berdoa. Setelah itu penulis membacakan ayat-ayat Alkitab tentang kehidupan nanti dari kitab Wahyu dan disambung penulis berbicara kepada ibu: “Berangkatlah ibu, berangkatlah untuk bertemu dengan Tuhan. Kami relakan sekarang kepergianmu, karena di sana ibu akan lebih senang selama-lamanya. Relakanlah kami tinggal di dunia ini dan pergilah menghadap Tuhan, karena kami pun juga akan datang ke sana dan kita akan bertemu kembali di sana. Kami akan menyusul kembali nantinya ke sana dan kita akan bertemu kembali di sana. ...” Tidak berapa lama kemudian mulailah ibu melemah, tetapi masih bertahan beberapa waktu. Sekitar jam 00:15 malam itu juga ibu menghembuskan nafasnya hingga melemah dan berhenti. Penulis pun memimpin berdoa kembali memohon kepada Tuhan agar segala sesuatunya Tuhan bereskan untuk membawanya ke kampung .
          Malam itu penulis menyampai kabar kepada sanak-saudara dan kerabat. Sebagian mereka datang pada malam itu ke kamar jenazah. Subuhnya pesawat sudah dipersiapkan dengan Sempati Air dan kami akan berangkat jam 11:00 hari Minggu. Pagi itu kami sudah mandi dan makan nasi hangat disusul keluarga besar Simanungkalit Marbungaraja datang ke kamar jenazah. Acara pemberangkatan kami pun dilaksanakan pagi itu di kamar jenazah dan jenazah sudah dimasukkan ke dalam peti. Setelah acara pemberangkatan selesai, kami pun berangkat ke bandara Cengkareng dengan diantar oleh keluarga besar Simanungkalit Marbungaraja. Mereka semuanya ikut boarding mengantar kami hingga terdengar suara panggilan untuk masuk pesawat, kami pun berpisah dengan mereka dan masuk pesawat.
            Di Polonia, Medan, kami disambut oleh sanak-saudara dan kemudian memindahkan jenazah ke dalam ambulance yang akan membawa kami ke Sidikalang. Ternyata sanak-saudara juga sudah lebih dulu sampai di Sidikalang, karena mereka sudah menerima berita tengah malam sebelumnya. Tiga hari tiga malam jenazah disemayamkan di rumah barulah ibu dikebumikan. Semua acara berjalan dengan baik. Dan, ketika kami berangkat dari rumah membawa jenazah ke pekuburan, maka lagu dinyanyikan dengan lirik berikut: Adong do Ama na di surgo i, Tuhan Jahowa Debatanta i. Dijou do au, na lao ma au tu Ama na di surgo i. Lao ma au, lao ma au tu na di surgo i. Lao ma au, lao ma au tu na di surgo i. Dijou do au na lao ma au tu Ama na di surgo i ... Molo masihol ho muse di au, ingot ma, na di surgo I do au. Dapothon au tu surgo i, ai ho pe sonang do disi! Lao ma au, Lao ma au tu na di surgo i. Lao ma au, Lao ma au tu na di surgo i. Dapothon au tu surgo i, ai ho pe sonang do disi. i.e.: "Ada Bapa di sorga, Tuhan Allah, Bapa kita. Aku telah dipanggil, dan aku akan pergi kepada Bapa di sorga. Aku mau pergi, aku mau pergi kepada Bapa di sorga. Aku mau pergi, aku mau pergi kepada Bapa di sorga. Aku telah dipanggil dan akan pergi kepada Bapa di sorga. ... Bila di suatu saat nanti engkau rindu kepadaku, ingatlah, bahwa aku berada di sorga. Susullah aku di sorga, karena engkau pun akan berbahagia di sana. Aku mau pergi, aku mau pergi kepada Bapa di sorga. Aku mau pergi, aku mau pergi kepada Bapa di sorga. Susullah aku di sorga, karena engkau pun akan berbahagia di sana." Ya dan amin! Itu adalah lagu ibunda yang kami nyanyikan dan dia sedang bersaksi kepada setiap orang bahwa dia berangkat ke rumah Bapa di sorga dan dia mengajak semuanya bersamanya suatu saat nanti menyusulnya ke rumah Bapa di sorga.
          
Hasil gambar untuk yesus kristus

“Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang. Sebab Aku telah turun dari sorga bukan untuk melakukan kehendak-Ku, tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang telah mengutus Aku. Dan Inilah kehendak Dia yang telah mengutus Aku, yaitu supaya dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman. Sebab inilah kehendak Bapa-Ku, yaitu supaya setiap orang, yang melihat Anak dan yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku membangkitkannya pada akhir zaman.” (Yohanes 6:37-40). ***





Saturday, July 18, 2015

SAHALA

SAHALA
Oleh: Edward Simanungkalit

Hasil gambar untuk Yesus disalib

          Suatu kali di bulan April 2004, penulis mau berangkat dari Jakarta ke Medan dalam rangka membesuk orangtua yang sedang sakit. Setelah masuk boarding di bandara Soekarno-Hatta, pesawat yang akan penulis tumpangi ternyata didelay selama sejam. Kemudian ditambah lagi delay selama 35 menit, sehingga harus lama menunggu di dalam waiting room. Akhirnya, penulis mengajak ngobrol teman yang bangkunya sebaris di sebelah kanan. Setelah kami berkenalan, maka masuklah pembicaraan kami dari yang ringan hingga yang berat. Terakhir, masuklah pembicaraan ke dalam topik Raja Singamangaraja XII dan Perang Toba (1878-1907) dan penulis kebanyakan merujuk pada buku “AHU SI SINGAMANGARAJA” yang ditulis oleh Prof. Dr. W.B. Sijabat.
          Ceritapun terus berkesinambungan hingga akhirnya Raja Singamangaraja XII gugur bersama 3 orang anaknya dan pejuang-pejuang lainnya termasuk pejuang dari Aceh. Kami membahas betapa tragisnya situasi akhir itu, bukan sekedar gugurnya Raja Singamangaraja XII pada 17 Juni 1907, tetapi perjuangan mereka hingga sampai ke daerah Pakpak Klasen. Namun, tiba-tiba pria yang duduk di belakang penulis bersuara dengan berkata keras secara mendadak: “Sala do na nidokmi. Ipe marhusip Raja i tu pinggolhu, ndang songon i ninna. Sahala ni Raja Singamangaraja i do mandok ipe.” i.e.: “Salah yang kau katakan itu. Barusan roh Raja itu berbisik ke telingaku, tidak begitu, katanya. Roh Raja Singamangaraja itu yang mengatakannya barusan.” Oleh karena dia berbicara membentak dari belakang penulis tanpa disangka-saka, maka penulis kaget setengah mati, sehingga penulis harus menenangkan diri dulu sambil berdoa memohon pertolongan Tuhan. Sementara itu dia terus berbicara sambil berdiri kepada para penumpang pesawat yang sudah berada di dalam waiting room tersebut sambil berkata bahwa sahala Raja Singamangaraja yang berbisik barusan. Bukan hanya sahala Raja Singamangaraja yang biasa bicara kepadanya, katanya, tetapi juga sahala dari  Guru Tatea Bulan dan Raja Uti. Raja Uti dan Guru Tatea Bulan merupakan tokoh spiritual dari sejarah awal yang disebut sebagai anak dan cucu dari Si Raja Batak.
          Sambil berbicara dan berjalan ke depan, dia pun bercerita mengenai rencana penjalanannya. Posisinya sudah berdiri di depan para penumpang seperti memberikan ceramah kepada kami semua. Dia bercerita akan melakukan perjalanan ke Bangkara untuk mengambil Aek Sipangolu dan akan diteruskan sampai ke Pusuk Buhit,  karena ada acara ritual di sana bersama komunitasnya di puncak Pusuk Buhit. Dia pun memperkenalkan namanya dan di sini penulis hanya menulis initialnya mengingat kode etik juga, yaitu: SOS.  Kesempatan itu tetap penulis pergunakan untuk menenangkan diri sambil berdoa dengan berbisik memohon kekuatan dari Tuhan, pimpinan, dan perlindunganNya. Dan, memohon Tuhan menutup bungkus diri penulis dengan darah Yesus dari ujung kaki hingga ke ujung rambut serta pertolongan kuat-kuasa Roh Kudus. Penulis juga ada melihat  dua orang yang baru pulang dari acara Seminar & KKR di Surabaya sambil membawa photo besar penampakan  Yesus Kristus pada saat acara seminar dan dapat diphoto, sehingga mereka membawa photo tersebut dalam ukuran besar sekitar 24 inci. Mereka berdoa juga dengan khusuknya.
          Setelah merasa tenang, mulailah penulis mempertanyakan kenapa dia menyatakan salah begitu saja uraian penulis, padahal penulis menyampaikannya berdasarkan buku yang paling banyak dan luas penelitiannya. Oleh karena itu, tidak boleh menyalahkan begitu saja secara serampangan, tetapi SOS mengatakan bahwa sahala Raja Singamangaraja itu yang membisikkannya. Dia tidak menyampaikan argumentasi secara rasional, tetapi selalu menggunakan senjata bahwa sahala Raja itulah yang membisikinya. SOS juga mengatakan bahwa sahala Raja Singamangaraja, sahala Raja Uti, dan sahala Guru Tatea Bulan sedang berada di ruangan itu.
          Penulis merasakan dia mengklaim begitu saja bahwa sahala itu yang berbisik kepadanya, sehingga penulis sanggah dengan mengatakan bahwa tidak ada yang dapat menguji kebenaran pengakuannya itu. Oleh karena dia selalu mengklaim begitu saja, maka penulis akhirnya berkata bahwa penulis sangat menaruh hormat kepada Raja Singamangaraja XII yang telah berjuang dengan konsisten sampai hembusan nafas terakhir. Kemudian penulis meminta SOS berbicara saja lagi kepada sahala itu untuk menyampaikan pesan penulis: “Katakanya kepada sahala itu: ‘Dua ribu tahun lalu dia sudah dikalahkan dan dia hanyalah pendusta. Tidak benar itu Singamangaraja, tetapi pendusta yang mengaku-ngaku Singamangaraja saja  itu. Katakan dia itu pendusta dan minta dia dimandikan dengan darah Yesus.” Menjawab itu SOS berkilah bahwa penulis hanya mengandalkan agama dari  Timur Tengah. Penulis mengulang lagi agar dia sampaikan pesan penulis kepada sahala tersebut kalau memang sahala itu ada di ruangan tempat kami menunggu. Ini penulis lakukan untuk menghancurkan klaim dia tadi yang dibisiki sahala dan sekaligus masuk kepada pokok permasalahan dengan menelanjangi siapa “sahala” itu serta menceritakan karya Kristus di kayu salib dan darah Yesus yang berkuasa menghancurkan roh-roh itu.
          Penulis kejar terus dia agar menyampaikan pesan penulis itu kepada sahala tadi, karena sahala itu ada di ruangan itu seperti dia katakan sebelumnya. Akan tetapi, SOS tidak mau melakukan itu dan malah berkilah dengan berbagai alasan yang tidak ada kaitan langsung. Oleh karena penulis berkata begitu terus, agar menyampaikan pesan penulis kepada sahala tadi, maka mulailah dia melemah dan secara perlahan-lahan mulailah dia hanya bicara pelan kepada orang yang berada di sampingnya. Akhirnya, mulailah penulis menyerang SOS untuk mengakhiri perdebatan kami dengan berkata: “Ngapain aja pergi ke Pusuk Buhit, karena tidak ada apa-apanya di sana. Mau belajar ilmu apa di sana? Terbukti bahwa Belanda dapat menjajah kita, maka berarti ilmu Belanda yang lebih hebat, sehingga belajarlah ilmunya  Belanda itu. Tapi, Belanda dikalahkan Jerman pada Perang Dunia II, sehingga masih lebih baik belajar ilmu Jerman. Akan tetapi, Jerman pun dikalahkan Inggris dan Amerika Serikat, sehingga ilmunya Inggris dan Amerika Serikat lebih hebat. Jadi, belajar ilmu itu ke Inggris dan Amerika Serikat, bukan ke Pusuk Buhit. Belajar ilmu ke Pusuk Buhit sia-sia, karena dulu masih kalah sama Belanda.” SOS pun tidak menjawabnya lagi dan penulis pun hanya memandangi dia saja sampai panggilan masuk pesawat bergema. Kami pun berjalan menuju pesawat. Penerbangan pun berlangsung hingga kami tiba di bandara Polonia, Medan dan penulis masih meneruskan perjalanan ke Sidikalang.
         Belakangan penulis mendengar dari beberapa orang di Sumatera Utara, Riau, Bandung, dan Jakarta bahwa ternyata SOS adalah seorang dukun yang dikagumi oleh banyak orang. Penulis sebelumnya tidak pernah mendengar namanya, karena penulis tidak akrab dengan dunia perdukunan sama sekali. Memang penulis sadar bahwa SOS adalah dukun sejak dia berkata bahwa sahala Raja Singamangaraja, sahala Raja Uti, dan sahala Guru Tatea Bulan ditambah lagi dia akan ke Bangkara mengambil aek sipangolu untuk dibawa ke Pusuk Buhit mengikuti acara ritual di sana. Meskipun demikian, dalam posisi seperti itu, penulis memilih akan menyaksikan kuasa Allah di dalam Kristus Yesus dengan pertolongan kuat-kuasa Roh Kudus. Dan, darah Yesus berkuasa menghancurkan kuasa-kuasa yang tidak berkenan kepada-Nya. Solideo Gloria.DDD