Tuesday, August 11, 2015

Sadhu Sundar Singh: Rasul dengan Kaki Berdarah

Sadhu Sundar Singh: Rasul dengan Kaki Berdarah

Sundar Singh dilahirkan pada tahun 1889 dan berasal dari keluarga tuan tanah Sikh di negara bagian Patiala, India Utara. Bangsa Sikh, yang menolak ajaran agama Hindu dan agama Islam, telah menjadi bangsa yang menonjol pada abad keenam belas dengan ajaran agama mereka sendiri. Ibu Sundar Singh dari minggu ke minggu membawanya untuk belajar di hadapan seorang Sadhu -- seorang petapa suci yang hidup beberapa mil di dalam hutan, namun ia juga mengirimnya ke sebuah sekolah misi Kristen di mana ia dapat belajar bahasa Inggris.
Kematian ibunya ketika ia berusia empat belas tahun, membuat hidupnya menjadi keras dan nyaris putus asa. Ia menyerang para utusan Injil, menganiaya para petobat baru dan mengejek iman mereka. Sebagai perlawanan terhadap agama Kristen, ia membeli sebuah Alkitab dan membakarnya halaman demi halaman di rumahnya. Pada malam yang sama, ia masuk ke kamarnya dan memutuskan untuk bunuh diri di atas rel kereta api.
Akan tetapi, sebelum subuh tiba ia membangunkan ayahnya dan mengatakan bahwa ia telah melihat Yesus Kristus dalam suatu penglihatan dan mendengar suara-Nya. Sejak saat itu ia memutuskan untuk menjadi pengikut Kristus dan menyerahkan hidupnya kepada Kristus, dan selama dua puluh lima tahun ia bersaksi untuk Tuhannya dengan penuh keberanian. Namun proses pemuridan remaja ini langsung mengalami ujian ketika ayahnya meminta serta menuntutnya untuk melepaskan "pertobatannya". Ketika ia menolak, Sher Singh memberikan pesta perpisahan kepada anak laki-lakinya, kemudian menolak dan mengusirnya dari keluarganya. Beberapa jam sesudah itu, Sundar menyadari bahwa makanan yang baru disantapnya telah dibubuhi racun dan hidupnya diselamatkan berkat pertolongan sebuah masyarakat Kristen yang tinggal di dekatnya.
Pada ulang tahunnya yang keenam belas, ia dibaptis di depan umum sebagai seorang Kristen di halaman gereja di Simla -- sebuah kota yang terletak jauh di kaki Pegunungan Himalaya. Untuk beberapa waktu lamanya, ia berdiam di Rumah Perawatan Penderita Kusta di Sabathu, tak jauh dari Simla, sambil melayani pasien penyakit kusta. Tempat itu tetap menjadi tempat yang disenanginya dan ia selalu kembali ke sana semenjak ia dibaptis. Kemudian, pada bulan Oktober 1906, ia mulai mengadakan perjalanan, tetapi dengan suatu cara yang berbeda.
Ia berjalan dengan perawakan seorang remaja yang tinggi, tampan, tegap, sambil mengenakan jubah berwarna kuning dan turban. Setiap orang memandangnya ketika ia sedang berjalan. Jubah kuning itu merupakan pakaian seragam seorang Sadhu Hindu, yang secara tradisional merupakan seorang pertapa yang mengabdikan hidupnya kepada para dewa, yang berjalan sambil meminta sedekah, tak bersuara, menjauh dan sering berpakaian kotor, sambil bermeditasi di hutan atau tempat terpencil. Sundar Singh yang masih muda telah memilih cara seorang Sadhu, tetapi ia seorang Sadhu yang berbeda.
"Saya tidak layak mengikuti langkah Tuhan saya," katanya, "tetapi, seperti Dia, saya tidak menginginkan rumah dan harta. Seperti Dia, saya akan hidup di jalanan sambil berbagi kehidupan dengan rakyat saya, makan dengan mereka yang memberi tumpangan, dan menceritakan kepada setiap orang tentang kasih Allah."
Pada waktu libur, ia segera kembali ke kampung halamannya, Rampur, di mana secara tak diduga ia memperoleh sambutan hangat. Namun ini merupakan persiapan yang tak memadai untuk menghadapi bulan-bulan berikutnya. Tubuhnya hampir-hampir tak bisa menahan kekerasan hidup secara fisik. Dalam usia enam belas tahun, Sadhu pergi ke utara melalui Punjab, melewati Bannibal Pass dan masuk ke Kashmir, kemudian kembali melalui Afganistan, ke daerah Balukhistan. Tubuhnya yang kurus dan jubah kuningnya hampir tak dapat melindunginya dari dinginnya salju dan kakinya luka-luka karena medan yang sulit dan berat.
Dalam waktu singkat sebuah masyarakat Kristen di utara menyebutnya sebagai "rasul dengan kaki berdarah". Julukan ini menunjukkan kepadanya apa yang akan dihadapinya kelak. Ia pernah dirajam, dipenjara, dikunjungi oleh seorang gembala yang berbicara dengan keakraban yang aneh tentang Yesus, dan ditinggalkan di luar gubuknya dengan ditemani seekor ular cobra. Pergumulan dengan kekuatan mistik, aniaya, dan sambutan hangat, merupakan sebagian dari pengalaman hidupnya di masa mendatang.
Dari desa-desa di bukit-bukit Simla, terlihat dari kejauhan jajaran yang panjang dari Pegunungan Himalaya yang ditutupi salju abadi dan puncak Nanga Perbat yang kemerah-merahan. Di balik itu terletak Tibet, daerah agama Budha yang tertutup dan sulit ditembus para utusan Injil dengan Kabar Baik. Sejak ia dibaptiskan, Tibet telah menarik perhatian Sundar. Pada tahun 1908 (pada usia sembilan belas tahun), ia menyeberangi garis depan Tibet untuk pertama kalinya. Setiap orang asing yang memasuki daerah tertutup yang fanatik ini, yang didominasi oleh agama Budha dan penyembah berhala, menghadapi risiko teror dan kematian. Singh mengambil risiko tersebut dengan mata dan hati yang terbuka lebar. Keadaan rakyat di sana mengejutkannya. Rumah yang hampir-hampir tanpa lubang udara dan rakyatnya sangat miskin. Ia sendiri dirajam ketika ia sedang mandi karena mereka percaya bahwa "orang suci tidak pernah mandi". Makanan sulit diperoleh dan ia bisa bertahan hidup dengan menyantap biji gandum yang dipanggang. Di mana-mana terjadi kekerasan dan ini baru "Tibet sebelah bawah" dan daerah perbatasan. Sundar kembali ke Sabathu dan bertekad untuk kembali lagi tahun berikutnya.
Kini ia bahkan memiliki keinginan yang jauh lebih besar -- mengunjungi Palestina untuk mengingat kembali beberapa kejadian dalam kehidupan Yesus. Pada tahun 1908 ia pergi ke Bombay sambil berharap untuk menaiki kapal laut yang menyenangkan. Tetapi ia dikecewakan karena pemerintah menolak memberi izin dan ia harus kembali ke utara. Justru pada perjalanan kembali ini, ia tiba-tiba menyadari dilema dasar yang dihadapi utusan Injil di India.
Seorang Brahmana jatuh pingsan di sebuah kereta yang panas dan penuh sesak, dan pada stasiun berikutnya seorang kepala stasiun berkebangsaan Inggris-India datang sambil membawa secangkir air dari kamar tunggu. Brahmana itu -- kasta tertinggi dalam agama Hindu -- menolaknya mentah-mentah. Ia membutuhkan air, tetapi ia hanya dapat meminumnya dari cangkirnya sendiri. Ketika cangkirnya di isi air dan ia meminumnya, nyawanya selamat. Dengan cara yang sama, Sundar Singh menyadari, India tidak akan menerima Injil Yesus Kristus yang disebarkan dengan gaya Barat secara luas. Itulah sebabnya ia kini menyadari bahwa banyak pendengar memberi respon kepadanya dalam jubah seorang Sadhu.
Pada tahun 1909 ia dibujuk untuk mulai mengikuti latihan bagi pelayanan Kristen di Sekolah Tinggi Anglikan di Lahore. Sejak awal ia mendapati dirinya tersiksa oleh perlakuan sesama siswa karena berpenampilan "berbeda" dan juga karena bersikap terlalu yakin. Tahapan ini berakhir ketika pemimpin siswa mendengar Singh mendoakannya dengan ucapan yang penuh kasih. Tetapi ketegangan lain tetap hadir. Sebagian besar dari pelajaran di sekolah kelihatannya tidak relevan dengan berita Injil yang dibutuhkan India. Sementara pelajaran hampir berakhir, kepala sekolah menyatakan bahwa ia harus melepaskan jubah Sadhunya dan mengenakan pakaian yang "sopan", yang biasa dipakai pendeta Anglikan di Eropa, menggunakan tata ibadah Anglikan yang formal, menyanyikan lagu rohani dalam bahasa Inggris, dan tidak pernah berkhotbah ke luar tanpa izin khusus. Ia bertanya, "Tidak boleh pergi lagi ke Tibet?" Bagi Sundar, hal itu merupakan penolakan terhadap panggilan Allah dan belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Dengan perasaan sedih yang mendalam, ia meninggalkan Sekolah Alkitab -- masih berpakaian jubah kuningnya. Pada tahun 1912, ia mulai perjalanan tahunannya ke Tibet sementara salju mulai mencair di Pegunungan Himalaya.
Kisah-Kisah yang Luar Biasa
Kisah-kisah dari pengalamnnya sangat mengherankan dan luar biasa. Memang ada yang bersikeras mengatakan bahwa kisah-kisah itu bernuansa mistis dan bukan kisah nyata. Pada tahun 1912, ia kembali dan menceritakan bahwa ia telah bertemu dengan sorang pertapa Kristen yang berusia tiga ratus tahun di sebuah gua di pegunungan -- Maharishi dari Kailas -- yang bersekutu selama tiga minggu bersamanya. Kisah lain lebih masuk akal, tetapi ada juga yang lebih mengerikan. Tubuhnya pernah diikat dengan kulit yak (sebangsa kerbau di Tibet) yang masih basah dan di jemur sampai kering ..., dan tubuhnya pernah diikatkan pada sebuah jubah yang penuh dengan lintah dan kalajengking supaya menghisap darahnya ..., tubuhnya pernah diikat pada sebuah pohon sebagai umpan untuk binatang buas. Namun dalam semua kejadian ini, ia telah diselamatkan oleh "Sunnyasi Mission" -- pengikut rahasia Yesus yang memakai ciri orang Hindu, yang menurutnya ada di seluruh India.
Apakah ia berhasil memenangkan banyak jiwa dalam perjalanannya yang berbahaya ke Tibet? Tak seorang pun yang tahu dengan pasti. Bagi orang Tibet, agama satu-satunya hanyalah Budha atau tidak sama sekali. Memberitakan kabar tentang Yesus sama dengan bunuh diri. Tetapi keberanian Sadhu dalam berkhotbah bukanlah tidak menghasilkan sesuatu.
Sementara Sundar memasuki usia dua puluh tahun, pelayannya menjadi semakin luas, dan lama sebelum ia memasuki usia tiga puluh tahun, nama dan gambarnya sudah dikenal oleh dunia Kristen di seluruh dunia. Ia menjelaskan bahwa mempertahankan sebuah visi sama dengan bergumul dengan iblis, tetapi sebenarnya pendekatannya manusiawi, sederhana, dan rendah hati, selain senang bergurau dan mencintai alam. Semua sifat ini ditambah dengan ilustrasi sederhana yang diambilnya dari kehidupan sehari-hari, membuat pesan yang disampaikannya memberikan dampak kuat. Banyak orang berkata, "Ia bukan hanya serupa seperti Yesus, tetapi juga berbicara seperti Yesus." Namun semua pembicaraan dan khotbahnya memancar dari saat teduh yang mendalam setiap pagi dini hari, terutama tentang kitab-kitab Injil.
Pada tahun 1918 ia mengadakan perjalanan sampai ke India Selatan dan Ceylon, dan tahun berikutnya ia diundang mengunjungi Myanmar, Malaysia, Cina, dan Jepang. Beberapa kisah dari perjalanannya sama anehnya seperti perjalannnya ke Tibet. Ia memiliki kuasa mengatasi binatang liar, seperti macan tutul yang akan menerkamnya ketika ia sedang berdoa dan kemudian ia membungkukkan tubuhnya dan mengusap-usap kepalanya. Ia memiliki kuasa mengalahkan kejahatan, seperti ahli sihir yang mencoba menghipnotisnya di kereta api dan menjelek-jelekkan Alkitab yang ada dalam saku bajunya. Ia memiliki kuasa mengusir penyakit, walaupun ia tak mau membanggakan karunia penyembuhannya.
Sudah cukup lama Sundar ingin mengunjungi Inggris dan kesempatan tersebut tiba ketika ayahnya yang sudah lanjut, Sher Singh, datang mengatakan kepadanya bahwa ia juga telah menjadi Kristen dan ingin memberinya uang untuk ongkos perjalanannya ke Inggris. Ia mengadakan perjalanan ke Inggris, Amerika Serikat, dan Australia pada tahun 1920, dan sekali lagi ke Eropa pada tahun 1922.
Ia disambut oleh orang-orang Kristen dengan berbagai latar belakang dan tradisi. Perkataannya menggelitik hati mereka yang saat itu sedang menghadapi pasca Perang Dunia I dan kelihatannya memiliki sikap yang dangkal terhadap hidup. Sundar terkejut melihat bahaya materialisme, kekosongan hidup, sikap tak beragama yang ditemukannya di mana-mana, jauh berbeda dengan kesadaran orang Asia terhadap kehadiran Allah, betapa pun terbatasnya hidup mereka. Setelah kembali ke India, ia melanjutkan pelayannya walaupun ia sadar bahwa tubuhnya semakin lemah.
Karunianya, daya tarik pribadinya, hubungan pribadinya dengan Kristus sementara ia menyajikan Injil kepada rakyat India mungkin telah memberikan Sundar Singh suatu posisi kepemimpinan yang unik dalam gereja India. Tetapi sampai akhir hidupnya, ia tetap menjadi seseorang yang tidak mencari keuntungan bagi dirinya, tetapi hanya kesempatan untuk menawarkan Kristus kepada setiap orang. Ia tidak masuk dalam denominasi apa pun dan tidak mencoba untuk memulai suatu aliran sendiri, walaupun ia bersekutu dengan bermacam-macam orang Kristen. Ia hidup untuk memperkenalkan Kristus di jalan-jalan di India.
Pada tahun 1923 Sundar Singh melakukan perjalanan musim panasnya yang terakhir ke Tibet, dan ketika kembali ia sangat lelah. Perjalanan khotbahnya ke mana-mana jelas sudah berakhir, dan pada tahun-tahun berikutnya ia menghabiskan waktunya untuk merenung, bersekutu, dan menulis di rumahnya sendiri atau di rumah teman-temannya di bukit Simla.
Pada tahun 1929, walaupun ditentang oleh teman-temannya, Sundar bertekad untuk melakukan perjalanan terakhir ke Tibet. Pada bulan April ia sampai di Kalka, sebuah kota kecil di bawah Simla, seseorang yang menjadi tua sebelum waktunya dalam jubah kuning ada di antara para peziarah dan orang suci yang memulai perjalanan mereka menuju salah satu tempat suci orang Hindu beberapa mil dari tempat itu. Ke mana ia pergi sejak saat itu tak diketahui orang. Apakah ia jatuh dari jalan setapak, mati kelelahan, atau berhasil melewati gunung-gunung, tetap menjadi suatu misteri. Itulah penampilan Sundar Singh yang terakhir kalinya. Tetapi ingatan tentang dirinya tetap dikenang, dan ia tetap menjadi salah satu tokoh yang paling hebat dan kuat dalam perkembangan dan sejarah gereja Kristus di India.
Sumber: John Woodbridge, ed., "More Than Conquerors: Portraits of Believer from All Walks of Life", (Chicago: Moody Press, 1992).
Diambil dari:
Judul majalah:Sahabat Gembala, November 2004
Judul artikel:Sadhu Sundar Singh: Rasul dengan Kaki Berdarah
Penulis:Rin
Penerbit:Yayasan Kalam Hidup, Bandung
Halaman:27 -- 32

Sumber:
http://misi.sabda.org/sadhu-sundar-singh-rasul-dengan-kaki-berdarah




No comments:

Post a Comment